Dr. Abdul Karim Zaidan dalam
bukunya berjudul Al Wazis fi ushi fiqh,
membagi istihsan kepada dua segi. Pertama, istihsan dipandang dari segi
hukumnya dan yang kedua, istihsan dipandang dari sandaran dalilnya.
Istihsan dari segi pemindahan
hukumnya terbagi kepada dua macam[1], yaitu
- Istihsan dengan cara pemindahan hukum kuli kepada hukum juli
Contoh,
dalam hukum syara’ seseorang tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan barang
belum ada ketika dilangsungkannya akad jual beli. Karena jual beli tanpa adanya
barang ketika akad berlangsung maka akad tersebut menjadi rusak. Inilah yang
disebut dengan hukum kuli. Kemudian syariat memberikan keringanan dan
pengecualian kepada pembeli barang dengan uang tunai tapi barangnya dikirim
kemudian dengan waktu dan jenis barang yang telah ditentukan (jual beli saham),
hal semacam ini telah menjadi kebiasaan dimasyarakat, juga mempermudah bagi
para penjual yang tidak memiliki modal. Pengecualian dan keringanan ini
dinamakan dengan pemindahan hukum kuli kepada hukum juzi. Mengenai jual beli salamini
Rasulullah Saw bersabda :
من أسلز فى سئ فيسلن فى كيل
مطو م ووزن مطوم وألى مطو م.
(روالا البغلىرب)
- Istihsan dengan cara pemindahan dari qiyas jalli kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu. Contoh, mazhab Hanafi berpendapat bahwa sisa minum urung buas seperti burung elang dan gagak adalah suci dan halal diminum. Menuwut qiyas jalli, meminum sisa minuman binatang buas seperti anjing dan burung buas adalah haram karena binatang tersebut langsung minum dengan lisannya yang diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut istihsan hal itu halal karena berebda antara mulut binatang buas dengan burung buas tadi. Kalau binatang buas minum dengan mulutya sedangkan burung buas melalui paruhnya yang bukan merupakan najis. Maka mulutnya tadi tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan. Dari perbedaan tadi maka ditetapkanlah perpindahan qiyas jalli kepada qiyas khafi.
Sedangkan istihsan dipandang dari
segi sandaran dalilnya terbagi atas berikut :
- Istihsan yang disandarkan kepada teks Alquran serta hadits yang lebih kuat. Seperti jual beli salam yang telah dibahas tadi.
- Istihsan yang disandarkan kepada ijma’. Contoh, bolehnya mengambil upah dari orang yang masuk WC.
- Istihsan yang disandarkan kepada adat kebiasaan (‘urf). Seperti sebagian ulama yang membolehkan wakaf dengan barang-barang yang bergerak.
- Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat darurat. Seperti membersihkan sumur yang terkena najis, hanya dengan mengeluarkan sebagian air sumur itu, hal itu dikarenakan tidak mempengaruhi kesucian sisanya. Inilah yang disebut darurat, yang bertujuan untuk memudahkan urusan manusia. Allah SWT berfirman,
Artinya : Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Q.S. Al-Hajj : 78)
- Istihsan yang disandarkan kepada kemaslahatan. Seperti keperluan mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon diwatu adzan atau shalat jama’ah.
- Istihsan yang disandarkan kepada qiyas khafi. Seperti bolehnya minum air sisa burung buas seperti elang dan gagak[2].
[1]
Prof.
Abdur Rahman I, Doi, Ph.D. Shariah Kodifikasi Hukum Islam (Shari’ah Itu
Islamic Law) hal. 124-128
[2] Prof. Dr. Rahmat Syafe’i, M.A. Ilmu Ushul Fiqih hal. 112
Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini