Selasa, 25 Desember 2012

Kuatnya Orang yang Teraniaya

Jika seseorang bertanya kepada saya,
Selain Tuhanmu, siapakah orang yang paling kamu takuti selanjutnya di dunia ini?
akan kujawab : Orang yang teraniaya, kecil atau sangat kecil, apa lagi besar, termasuk orang-orang yang tidak memperoleh keadilan dalam hal apapun, karena antara dia dan Tuhannya tidak ada pembatas sedikitpun, mudah baginya menjatuhkan dan menghukum seseorang jika ia berkenan,
maka Nikmat Tuhan yang mana lagi yang ingin kita dustakan.....
maka berhati-hatilah....


Zairif Hutabarat pada zairifblog
Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini


Asbabun Nuzul Surat Ar-ra'du ayat 11 : ... "Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri"...


 لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ


Asbabun Nuzul ayat ini masih bersangkut paut dengan ayat yang ke 8 sampai ke 13 dan kemudian berhubungan kepada ayat yang ke 31. Yaitu mengetengahkan sebuah hadits : 

Imam Thabrani dan lain-lainnya mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abbas r.a., bahwasanya Arbad bin Qais dan Amir bin Thufail datang ke Madinah menemui Rasulullah saw. 
Lalu Amir bin Thufail berkata, "Hai Muhammad! Hadiah apakah yang akan engkau berikan kepadaku, jika aku masuk Islam?" 
Rasulullah saw. menjawab, "Engkau akan mendapatkan sebagaimana apa yang didapat oleh kaum Muslimin yang lain, dan engkau pun akan menerima seperti apa yang mereka alami?" 
Lalu Amir berkata lagi, "Apakah engkau akan menjadikan aku sebagai penggantimu sesudahmu?" 
Rasulullah saw. menjawab, "Hal tersebut bukan untukmu dan bukan untuk kaummu." 

Lalu mereka berdua keluar dari majelis Rasulullah saw. 
Setelah mereka keluar, lalu Amir berkata kepada Arbad, "Bagaimana kalau aku menyibukkan diri Muhammad dengan berbicara kepadanya, kemudian dari belakang kamu tebas dia dengan pedangmu?" 
Arbad setuju dengan usul tersebut, lalu keduanya kembali lagi menemui Rasulullah saw. 
Sesampainya di sana Amir berkata, "Hai Muhammad! Berdirilah bersamaku, aku akan berbicara kepadamu." 
Kemudian Amir berbicara kepadanya, dan Arbad menghunus pedangnya; akan tetapi ketika Arbad meletakkan tangannya pada pegangan pedangnya, tiba-tiba tangannya lumpuh. 
Dan Rasulullah saw. melirik kepadanya serta melihat tingkahnya itu dengan jelas, lalu beliau berlalu meninggalkan mereka. 
Maka setelah itu keduanya pergi, dan ketika mereka berdua sampai di kampung Ar-Raqm, lalu Allah mengutus halilintar kepada Arbad untuk menyambarnya, maka halilintar itu membunuhnya. Kemudian turunlah firman-Nya, "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan..." (Q.S. Ar-Ra'd 8) sampai dengan firman-Nya, "Dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya." (Q.S. Ar-Ra'd 13). 

Imam Nasai dan Imam Bazzar keduanya mengetengahkan sebuah hadis melalui Anas r.a. yang menceritakan, bahwa Rasulullah saw. mengutus salah seorang sahabatnya kepada seorang laki-laki jahiliah yang terpandang, yaitu untuk mengajaknya menyembah Allah. Lalu laki-laki itu menjawab, "Apakah Tuhanmu yang engkau ajak aku supaya menyembah-Nya; apakah ia terbuat dari besi, atau dari tembaga, atau dari perak, ataukah dari emas?" 
Kemudian utusan itu kembali menghadap kepada Nabi saw. dan menceritakan kepadanya semua apa yang dialaminya. Nabi saw. mengulangi lagi hal itu untuk yang kedua kalinya, hingga sampai pada ketiga kalinya, akan tetapi laki-laki jahiliah itu masih tetap membangkang dan menolak. 
Lalu Allah mengutus halilintar kepadanya, dan halilintar itu menyambarnya hingga membakarnya. Maka turunlah ayat berikut ini, "Dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki..." (Q.S. Ar-Ra'd 13).



Disadur dari berbagai sumber


Rabu, 19 Desember 2012

Sebuah Pengakuan


Sungguh aku memohon Ampunan kepada Tuhanku dan meminta maaf kepada Orang Tuaku karena aku orang yang sangat bodoh dan hina. Sungguh bodoh. Saat ini setiap keadaanku berusaha aku maknai dengan rasa syukur dan salah karena letakku yang tidak mampu berdiri kuat sebagai bentuk manusia yang utuh dan mampu berdiri lebih kokoh. Seharusnya setiap manusia mempunyai tujuan dan mempertahankan tujuannya sampai pada batas kemampuannya dan itulah jalan yang benar untuk mempertahankan hidupnya, begitupun aku, juga memiliki tujuan tetapi saat ini aku malah rela menukar tujuan itu dengan sebuah pilihan yang mungkin telah menjatuhkanku kedalam sakit, kelemahan dan bahkan ketiadaan.

Sungguh hidup itu memang butuh fluktuatif tapi aku merasa dulu aku lebih kuat dimana aku sudah mulai tidak terlibat dengan sebab akibat kehidupan, tetapi sekarang aku tidak semampu itu aku tenggelam pada kehidupan yang memang awalnya sederhana tetapi kemudian berkembang. Semakin berkembang dan akhirnya sampai sejauh ini hingga batasnya mungkin akan terjadi pada suatu saat nanti yang insya Allah ujungnya bukanlah kematian dari aku atau orang lain.

Aku akan berusaha semampu mungkin untuk tidak menukar diriku atau kesenanganku dengan kesedihan atau kebutuhan orang lain, bahkan jika aku sangat membutuhkannya walau memang belum setulus mungkin. Ada saja waktu dimana seseorang dihadapkan pada pilihan untuk tujuannya ataupun kebahagiaanya dengan kesenangan atau urusan orang lain yang harus terjadi pada waktu bersamaan maka sebisa mungkin aku beri kesenangan itu untuk orang lain walau sebenarnya aku sedih tapi bukankah kesedihanku nantinya juga akan hilang. Hal ini mungkin terdengar menyiksa diri sendiri tetapi apakah hati ini akan puas ketika kita senang sedang ada orang lain yang sedih, walau memang setiap pilihan harus ada konsekuensi maka aku lebih sering memilih aku yang kecewa.

Aku sangat bersyukur kepada Tuhan bahwa sampai hari ini aku diberikan anugerah untuk senantiasa memandang setiap keadaan apapun, dan atau pilihan apapun, yang dibuat oleh siapapun, dari berbagai perspektif mana saja yang mungkin terjadi. Aku berusaha untuk mampu tidak menghakimi siapapun bahwa andaikan hal itu atau seseorang itu salah menurut banyak orang mungkin saja bagiku tidak. Ada hal-hal lain yang tidak aku ketahui dalam setiap hal atau setiap orang sehingga hal atau pilihan itu terjadi. 

Sudah seharusnya setiap proses hidup itu memiliki makna, baik karena cinta, rasa, dan juga hal lainnya dalam hidup. Yang kutahu saat ini bahwa Tuhan itu selalu adil, dan tidak ada kesia-siaan dari kebaikan baik itu tulus atau tidak tulus, yang pasti ketulusan itu jauh lebih kuat.

Mhd Zainal Arif Hutabarat 



Minggu, 25 November 2012

Kisah Sakratul Mautnya Al Qomah yang Mengutamakan Istri daripada Ibu

Di zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang bernama Alqomah, ia sangat rajin beribadat.

Suatu hari ia tiba-tiba jatuh sakit yang sangat parah, maka isterinya menyuruh orang memanggil Rasulullah dan mengatakan suaminya sakit parah dan dalam sakaratul maut.  
Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, maka Rasulullah menyuruh Bilal r.a, Ali r.a, Salaman r.a dan Ummar r.a supaya pergi melihat keadaan Alqomah. 


Ketika mereka sampai ke rumah Alqomah, mereka terus mendapatkan Alqomah sambil membantunya membacakan kalimah La-ilaa-ha-illallah, tetapi lidah Alqomah tidak dapat menyebutnya. Ketika para sahabat mendapati bahwa Alqomah pasti akan mati, maka mereka menyuruh Bilal r.a supaya memberitahu Rasulullah tentang keadaan Alqomah.

Ketika Bilal sampai dirumah Rasulullah, maka bilal menceritakan segala hal yang berlaku kepada Alqomah.  Lalu Rasulullah bertanya kepada Bilal;
"Wahai Bilal apakah ayah Alqomah masih hidup..?" 
Jawab Bilal r.a, 
" Tidak, ayahnya sudah meninggal, tetapi ibunya masih hidup dan sangat tua usianya".

Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata kepada Bilal; 
"Pergilah kamu kepada ibunya dan sampaikan salamku, dan katakan kepadanya kalau dia dapat berjalan, suruh dia datang berjumpaku, kalau dia tidak dapat berjalan katakan aku akan kerumahnya".

Maka ketika Bilal sampai kerumah ibu Alqomah, lalu ia berkata seperti yang Rasulullah kata kepadanya, maka berkata ibu Alqomah;
 " Aku lebih patut pergi berjumpa Rasulullah". 
Lalu ibu Alqomah mengangkat tongkat dan terus berjalan menuju ke rumah Rasulullah.
Maka bertanya Nabi s.a.w. kepada ibu Alqomah ; 
"Terangkan kepada ku perkara yang sebenar tentang Alqomah, jika kamu berdusta nescaya akan turun wahyu kepadaku".

Berkata Nabi lagi ; 
"Bagaimana keadaan Alqomah..?", 
jawab ibunya ;
"Ia sangat rajin beribadat, ia sembahyang, berpuasa dan sangat suka bersedekah sebanyak-banyaknya sehingga tidak diketahui banyaknya".

Bertanya Rasulullah ; 
"Bagaimana hubungan kamu dengan dia..?", 
jawab ibunya ; 
" Aku murka kepadanya", 
lalu Rasulullah bertanya ;
"Mengapa..?", 
jawab ibunya; 
"Karena ia mengutamakan istrinya dari aku, dan menurut kata-kata isterinya sehingga ia menentangku".

Maka berkata Rasulullah ; 
"Murka kamu itulah yang telah mengunci lidahnya dari mengucap La iilaa ha illallah", 

kemudian Nabi s.a.w menyuruh Bilal mencari kayu bakar untuk membakar Alqomah. Ketika ibu Alqomah mendengar perintah Rasulullah lalu ia bertanya ; 
"Wahai Rasulullah, kamu hendak membakar putera ku didepan mataku..?, bagaimana hatiku dapat menerimanya". 
Kemudian berkata Nabi s.a.w ; 
"Wahai ibu Alqomah, siksa Allah itu lebih berat dan kekal, oleh itu jika kamu mau Allah mengampunkan dosa anakmu itu, maka hendaklah kamu mengampuninya", 
"demi Allah yang jiwaku ditangannya, tidak akan guna shalatnya, sedekahnya, selagi kamu murka kepadanya". 

Maka berkata ibu Alqomah sambil mengangkat kedua tangannya ; 
"Ya Rasulullah, aku persaksikan kepada Allah dilangit dan kau Ya Rasulullah dan mereka-mereka yang hadir disini bahawa aku ridha pada anakku Alqomah".

Maka Rasulullah memerintahkan Bilal pergi melihat Alqomah sambil berkata ; 
"Pergilah kamu wahai Bilal, lihat Alqomah dapat mengucapkan La iilaa ha illallah atau tidak".
 Berkata Rasulullah lagi kepada Bilal ; 
"Aku khawaatir kalau kalau ibu Al qomah mengucapkan itu semata-mata karena aku dan bukan dari hatinya".

Maka ketika Bilal sampai di rumah Alqomah tiba-tiba terdengar suara Alqomah menyebut; 
"La iilaa ha illallah".
 Lalu Bilal masuk sambil berkata; 
"Wahai semua orang yang berada disini, ketahuilah sesungguhnya murka ibunya telah menghalangi Alqomah dari mengucapkan kalimah La iila ha illallah, karena ridha ibunyalah maka Alqomah dapat menyebut kalimah syahadat".

Maka matilah Alqomah pada waktu setelah dia mengucap.

Rasulullah s.a.w pun sampai di rumah Alqomah sambil berkata ;
"Segera mandikan dan kafankan", 
lalu dishalatkan oleh Nabi s.a.w. dan sesudah dikuburkan maka berkata Nabi s.a.w. sambil berdiri dekat kubur;
"Hai sahabat Muhajirin dan Anshar, barang siapa yang mengutamakan isterinya daripada ibunya maka ia adalah orang yang dilaknat oleh Allah s.w.t, dan tidak diterima ibadat fardhu dan sunatnya"

(Sumber Page FB : Qolbun Salim)
Lalu saat ini bagaimana dengan kita yang terkadang lupa hal ini, jangankan istri bahkan pacar yang belum jadi istri saja didahulukan daripada yang lain.. 
Semoga Allah Melindungi kita semua



Terimakasih atas kunjungannya, Semoga berkenan


Selasa, 20 November 2012

Keadaan yang Diperbolehkan untuk Membongkar Kuburan

Mayat boleh digali kembali pada empat keadaan, yaitu:
1. Untuk dimandikan apabila belum berubah bentuk.
2. Untuk menghadapkannya ke arah qiblat.
3. Untuk mengambil harta yang terpendam bersama mayat.
4. Wanita yang janinnya terkubur bersamanya dan ada kemungkinan janin tersebut masih hidup.

Fiqh dasar : Terjemahan MATAN SAFIINATUN NAJAAH

Lalu bagaimana pendapat para ulama ??
Dalam Kitab Al- Fiqh 'Ala al-Madzahib Al-Khamsah karangan Muhammad Jawwad Mughniyyah disebutkan, semua ulama mazhab sepakat bahwa membongkar kuburan itu adalah haram, baik mayat tersebut masih anak kecil ataupun orang dewasa, gila maupun berakal, kecuali untuk mengetahui ada tidaknya, dan telah jadi tanah, atau penggalian ulang itu bertujuan untuk kemaslahatan mayat. 


Sebab-sebab syar’i yang membolehkan penggalian mayat dari kuburnya itu banyak, memungkinkan bagi kami untuk menyebutkan yang penting di antaranya, yaitu kalau mayat:
a. Dikuburkan di masjid.
b. Telah hancur menjadi tanah. Hal itu setelah lewat masa tertentu yang dapat diketahui dengan hasil penelitian.
c. Dikuburkan sebelum dimandikan.
d. Dikuburkan tidak menghadap kiblat.
e. Dikuburkan tanpa kafan.
f. Dikhawatirkan akan dipermainkan.
g. Terganggu oleh apa saja.
h. Dikuburkan di tanah hasil rampasan.
i. Dikhawatirkan atas kuburnya aliran banjir atau basah.
j. Adanya harta atau lembaran bernilai yang terbawa bersamanya ketika penguburan.
k. Ada darurat untuk menggalinya dan mengumpulkan tulang belulangnya lalu dipindahkan ke tempat lain sebab sempitnya pekuburan misalnya.
l. Dikuburkan di pekuburan orang-orang kafir.
m. Dikuburkan di negeri kafir.
n. Dikuburkan bersama mayat yang lain.
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun menggali kuburan, maka tidak boleh tanpa sebab syar’i, menurut kesepakatan para shahabat (yakni ulama madzhab Asy-Syafi’iyyah). Dan dibolehkan dengan adanya sebab-sebab syar’i, semisal yang telah lalu. Ringkasnya: Boleh menggali kembali kubur apabila (mayat) telah hancur menjadi tanah, maka ketika itu boleh memakamkan mayat lainnya di tempat itu, boleh menanam di atasnya, membangun, dan segala bentuk pemanfaatannya, berdasarkan kesepakatan para orang dari kalangan (ulama Asy-Syafi’iyyah). Jikalau tanahnya pinjaman, maka ia kembali kepada pemiliknya. Namun semua ini bila tidak ada yang tersisa dari mayat berupa tulang atau selainnya. Para shahabat kita berkata: Berbeda dalam masalah ini sesuai dengan perbedaan negeri dan tanahnya. Dan dalam hal ini, yang dipegangi adalah pendapat para ahli yang berpengalaman.
Boleh menggali kembali mayat, apabila dikuburkan tanpa menghadap kiblat atau belum dimandikan, menurut pendapat yang lebih tepat. Begitu juga jika belum dikafani, atau dikafani dengan kafan hasil rampasan atau sutra, atau tanahnya tanah rampasan, atau ada perhiasan yang ikut tertanan, atau ada suatu harta terjatuh ke dalam kubur, sesuai dengan apa yang telah lalu semuanya secara terperinci beserta perbedaan pendapat seputarnya.
Al-Mawardi berkata dalam Al-Ahkaamus Sulthaaniyyah: “Jikalau kubur terkena aliran banjir atau tanahnya basah, maka Abu ‘Abdillah Az-Zubairi berkata, ‘Boleh memindahkannya’, sedangkan yang lain melarangnya. Saya katakan bahwa pendapat Az-Zubairi lebih benar, karena dalam Shahih Al-Bukhari telah tsabit (pasti) dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa dia menguburkan ayahnya dengan seorang laki-laki lain [4] dalam satu kubur di hari Uhud. Kemudian dia berkata: “Lalu jiwaku tidak tenang membiarkannya dengan yang lain, maka saya pun mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata keadaannya masih seperti di hari ketika saya meletakkannya selain sedikit sekali perubahan pada telinganya.”
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan Al-Bukhari juga: “Saya mengeluarkannya lalu meletakkannya di kubur yang tersendiri.”
Ibnu Qutaibah -dalam Al-Ma’arif- dan selainnya menyebutkan: ‘Sesungguhnya Thalhah bin ‘Ubaidillah, salah satu dari sepuluh orang yang telah diberikan kabar gembira dengan surga, dikuburkan. Lalu ‘Aisyah, anaknya, bermimpi melihatnya, tiga puluh tahun setelah dikuburkannya. Thalhah mengadukan kepada anaknya tentang air yang merembes. Maka ‘Aisyah menyurth untuk menggalinya, lalu dia dikeluarkan dalam keadaan basah, lalu dikuburkan di kampungnya di Bashrah.’ Yang selain Ibnu Qutaibah berkata: Perawi mengatakan, ‘Seolah saya melihat kepada kapur barus di kedua matanya, kecuali jalinan rambutnya telah bergeser dari tempatnya. Sedangkan sisi yang terkena rembesan air menghijau’.
Asy-Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti berkata dalam Syarh Muntahal Iraadat: “Diharamkan menguburkan mayat di masjid dan semisalnya (sekolah, dan lainnya), sebab semua itu tidaklah dibangun untuk kuburan. Mayat yang dikuburkan di sana wajib digali dan dikeluarkan berdasarkan nash. Diharamkan menguburkan di tanah orang lain selama belum mendapatkan izin dari pemiliknya, kalau diizinkan maka dibolehkan. Pemilik mempunyai hak (kalau telah dikuburkan) jika tanpa izinnya, untuk memindahkan mayat dari tanah miliknya dan memaksa orang yang menguburkan di sana untuk memindahkan dan mengosongkannya. Namun yang lebih utama baginya membiarkan saja mayat itu agar tidak terkoyak kehormatannya.
Dibolehkan menggali kubur kuffar (orang-orang kafir) harbi untuk kemaslahatan, sebab letak masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulunya adalah pekuburan kaum musyrikin. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menggalinya dan menjadikannya sebagai masjid. Boleh juga menggali kubur harbi karena ada harta di dalamnya, berdasarkan hadits:
‘Ini adalah kubur Abu Righal, tandanya ialah padanya ada potongan emas. Jikalau kalian berpendapat menggalinya, niscaya kalian akan mendapatkan potongan emas itu bersamanya.’ Maka orang-orang pun berlomba, akhirnya mereka mengeluarkan potongan emas tersebut.
Tidak dibolehkan menggali kubur seorang muslim ketika masih ada tulang belulangnya kecuali karena darurat, seperti:
1. Ia dikuburkan di tanah milik orang lain tanpa izin.
2. Dikuburkan dengan kafan hasil rampasan. Maka kuburannya digali dan diambil kalau kafan itu masih baik untuk dikembalikan kepada pemiliknya, jikalau tidak mungkin dibayar dengan harta peninggalannya. Sedangkan kalau tidak memenuhi syarat itu, maka tidak boleh digali sebab akan merobek kehormatannya, padahal ada solusi lain menghindari efek negatif itu.
3. Mayat menelan harta selainnya tanpa izin dan masih ada, seperti emas. Sedangkan pemiliknya meminta dikembalikan, namun tidak mampu dibayarkan dengan harta peninggalannya atau selainnya untuk pelunasan, maka digali dan dirobek perut mayat lalu dikembalikan harta tersebut kepada pemiliknya untuk melepaskan mayat dari dosanya. Adapun kalau dia menelannya dengan izin pemiliknya, atau barangnya sudah tidak ada, atau tidak diminta oleh pemiliknya, atau tidak ada halangan untuk membayarnya, maka tidak boleh digali.
4. Ada sesuatu yang bernilai untuk transaksi yang terjatuh kedalam kubur, walaupun sedikit dan walaupun jatuhnya itu sebab perbuatan pemiliknya sendiri. Maka kuburannya digali dan benda itu diambil. Berdasarkan riwayat: “Sesungguhnya Al-Mughirah bin Syu’bah meletakkan cincinnya di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu (ketika dia teringat) dia berkata, ‘Cincinku!’, maka dia masuk mengambilnya. Ketika itu dia berkata, ‘Sayalah yang paling terakhir mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kalian’.”
Ahmad berkata: {Jikalau penggali kubur lupa sekopnya (dan tertinggal) di dalam kubur, boleh menggalinya. Dan kubur tidak boleh digali jikalau mayat menelan hartanya sendiri sebelum jasadnya hancur, sebab hal itu termasuk pemakaian harta sendiri di masa hidupnya, sehingga sama halnya dengan membelanjakannya. Sedangkan kalau jasad mayat sudah hancur sementara harta tetap ada, maka para pewarisnya boleh mengambilnya. Kecuali kalau mayat yang menelan hartanya sendiri itu mempunyai hutang, maka digali dan disobek perutnya lalu dibayarkan segera untuk membebaskannya dari tanggung jawab.
Wajib menggali mayat yang dikuburkan tanpa dimandikan jikalau memungkinkan, agar mendapatkan kewajiban yang terlewatkan, maka mayat dikeluarkan lalu dimandikan selama tidak dikhawatirkan akan terpotong-potong.
Atau mayat yang dikuburkan sebelum dishalati, maka dikeluarkan dan dishalati lalu dikembalikan ke tempatnya, berdasarkan nash. Hal ini dilakukan selama tidak dikhawatirkan mayat akan terpotong-potong. Sebab menyaksikan mayat ketika dishalati adalah hal yang diinginkan. Oleh karena itu, andaipun telah dishalati sebelum dikuburkan tetapi tertutup oleh hijab, maka tidak sah.
Atau mayat yang dikuburkan tanpa kafan, maka dikeluarkan dan dikafani berdasarkan nash agar mendapatkan kewajiban yang tertinggal, sebagaimana kalau dikuburkan tanpa dimandikan. Dan wajib diulangi shalat atasnya, sebab memshalatinya pada kali yang pertama belumlah menggugurkan kewajiban, diriwayatkan oleh Sa’id dari Mu’adz bin Jabal.
Kalau mayat dikafani dengan sutra maka ada dua pendapat, namun dalam Al-Inshaaf (dinyatakan): “Yang utama adalah tidak menggalinya.”
Kalau mayat dikuburkan tidak menghadap kiblat, maka digali dan dihadapkan ke kiblat untuk mendapatkan kewajiban yang terlewatkan.
Boleh menggali kubur mayat untuk maksud yang benar, seperti memperbaiki kafannya, berdasarkan hadits Jabir yang berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Abdullah bin Ubai setelah dikuburkan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkannya, dan menyemburkan ludah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya, serta memakaikannya baju beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan boleh menggali kuburan dengan sebab yang semisalnya, seperti menyendirikan mayat yang dikuburkan dengan mayat lain, sesuai dengan hadits Jabir, ia berkata: “Seseorang dikuburkan bersama ayahku maka jiwaku tidak tenang, sampai saya mengeluarkannya lalu meletakkannya ke dalam kubur tersendiri.”
Boleh menggalinya untuk memindahkan ke tanah yang mulia dan berdekatan dengan orang shalih… kecuali seorang yang syahid, maka dikuburkan di tempat dia terbunuh dan tidak boleh dipindahkan…
Abul Ma’ali berkata: Wajib untuk memindahkannya karena suatu darurat, misalnya ia berada di negeri harbi atau suatu tempat yang dikhawatirkan akan digali, dibakar, atau dipermainkan.
Al-Imam Majduddin Abul Barakat Ibnu Taimiyyah berkata: {Ibnu ‘Aqil berkata -tentang mayat yang dikuburkan tidak menghadap kiblat-: Para shahabat kita berkata, ‘Apakah digali kuburnya? Karena menghadap kiblat adalah disyariatkan dan memungkinkan untuk dilakukan, hingga tidak boleh ditinggalkan? Sebagaimana dia menyebutkan masalah ini. Dan yang semisal dengannya adalah dikuburkan tanpa dimandikan. Jawabnya: Digali, dimandikan dan diarahkan ke kiblat, kecuali bila dikhawatirkan akan mengakibatkan terpotong-potong tulangnya, maka dibiarkan.’
Ibnu ‘Aqil menyelisihi Abu Hanifah. Ibnu ‘Aqil berargumen bahwa hukumnya wajib, dan kewajiban itu tidaklah gugur dengan penguburannya, sebagaimana halnya mengeluarkan suatu barang yang bernilai.
Adapun ucapan mereka: ‘Menggali kembali adalah penyakit’, kami katakan: ‘Itu hanyalah untuk mayat yang sudah berubah, maka tidak digali.’
Penulis -dalam Syarhul Hidaayah- menyelisihi Abu Hanifah dalam dua masalah. Ia katakan dalam masalah menguburkan sebelum dimandikan: Karena memandikan itu wajib lagi disanggupi, tanpa ada penghalang.’
Dan dalam masalah menguburkan tidak menghadap kiblat, ia mengatakan tentang pendapat Abu Hanifah: Pendapatnya di sini lebih mengena, karena mengarahkannya ke kiblat adalah sunnah dan tidak wajib, sehingga untuk mendapatkannya tidaklah harus melakukan sesuatu yang dilarang.
Alasan kita, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum telah menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka menggali kembali kubur dengan tujuan yang lebih ringan dari ini. Maka menggali kembali kubur untuk menghadapkan mayat ke kiblat adalah lebih utama untuk dilakukan. Sedangkan menggali yang dilarang ialah apabila bukan karena tujuan yang benar.
Lalu alasan mereka dibantah dengan hukum khitan menurut mereka sendiri. Yang mana khitan menurut mereka adalah sunnah, namun mengharuskan untuk membuka aurat yang menurut hukum asalnnya diharamkan (untuk diperlihatkan kepada orang lain). Selesai ucapan Ibnu ‘Aqil.}
Asy-Syaikh Wajih menyebutkan alasan penguburan tanpa menghadap kiblat bahwa menghadap kiblat adalah sunnah yang disyariatkan, dan merupakam salah satu syi’ar kaum muslimin yang sanggup untuk dilakukan, maka tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana kalau diingat sebelum peletakan bata.
Asy-Syaikh katakan: Al-Mawardi, penulis kitab Al-Haawi, menyebutkan dalam kitabnya: “Orang pertama yang diarahkan ke kiblat adalah Al-Bara’. Dia mewasiatkan hal itu, hingga menjadi sunnah.” Selesai ucapannya.
Al-Amidi, Syarif Abu Ja’far, dan selainnya memastikan wajibnya menghadapkan ke kiblat.
Al-Qadhi Abul Husain berkata dalam Majmu’-nya: “Kalau dikuburkan tanpa dimandikan, maka digali kembali dan dimandikan, sama halnya baik dia telah ditimbun dengan tanah atau belum. Inilah dzahir madzhab Asy-Syafi’iyyah dan juga pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i.”
Ini hukumnya jikalau dikuburkan tanpa menghadap kiblat. Dan semua ini dengan catatan jika mayat belum berubah. Abu Hanifah katakan: Kalau sudah ditimbun dengan tanah, maka tidak digali lagi. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sewaktu ditanya tentang satu mayat, apakah dipindahkan atau tidak, maka beliau menjawab: “Alhamdulillah. Tidak boleh digali mayat dari kuburnya kecuali karena suatu hajat. Misalnya, di kuburan yang pertama ada sesuatu yang menimpakan keburukan terhadap mayat, maka boleh dipindahkan ketempat lain. Sebagaimana ada sebagian shahabat yang dipindahkan karena hal yang serupa.” 
Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni: Ahmad ditanya tentang mayat yang dikeluarkan dari kuburnya ke tempat lain, maka beliau menjawab: “(Boleh) kalau ada sesuatu yang mengganggunya. Thalhah telah dipindahkan, juga ‘Aisyah.” Ketika beliau ditanya tentang beberapa orang yang dikuburkan di kebun-kebun dan tempat-tempat yang diremehkan, maka beliau menjawab: “Mu’adz telah menggali kembali kubuq istrinya. Sebelumnya, dia dikafani dengan pakaian usang maka Mu’adz mengkafaninya”. Dan Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad) tidak melihat adanya masalah bila dipindahkan.” 
Asy-Syaukani memberikan komentar atas ucapan Jabir dalam hadits yang lalu: “Namun jiwaku belum merasa tenang.”
{Dalam ucapan ini ada dalil tentang bolehnya menggali kubur mayat karena urusan yang berkaitan dengan yang masih hidup. Karena (sebenarnya) tidak ada kemudharatan bagi mayat kalau dikuburkan bersama mayat yang lain. Jabir telah menjelaskan hal tersebut dalam ucapannya: “Namun jiwaku belum merasa tenang.” Hanya saja, hal ini adalah hujjah kalau tsabit (pasti) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkannya melakukan hal itu atau memberikan persetujuan atasnya. Sedangkan kalau tidak, maka tidak ada hujjah dalam perbuatan shahabat.
Laki-laki yang telah dikuburkan bersamanya ialag ‘Amru bin Al-Jamuuh bin Zaid bin Haram Al-Anshari, seorang teman ayah Jabir, dan suami dari saudara perempuannya, Hindun binti ‘Amr.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dalam Al-Maghazi, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kumpulkanlah keduanya, sebab keduanya di dunia bersahabat karib.”
Ucapannya: “Sampai saya mengeluarkanmya”, dalam lafazh lain yang diriwayatkan Al-Bukhari: “Maka saya mengeluarkannya setelah lewat enam bulan. Ternyata dia masih seperti di hari saya meletakkannya dulu, selain sedikit perubahan di telinganya.”
Dzahir kabar ini menyelisihi riwayat dalam Al-Muwaththa’ dari Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah, bahwa sampai berita kepadanya bahwa banjir telah melubangi kubur ‘Amru bin Al-Jamuuh Al-Anshari dan Abdullah bin ‘Amr Al-Anshari (ayah Jabir) yang berada dalam satu kubur. Maka kubur keduanya digali dan didapati keduanya belum berubah, seolah jeduanya meninggal kemarin. Padahal jarak antara perang Uhud dengan penggalian adalah 46 tahun.
Ibnu ‘Abdil Barr menggabungkan kedua riwayat ini bahwa ada beberapa kisah dalam hal ini. Tapi Ibnu Hajar mengatakan dalam Al-Fath: “Ini dipertanyakan, sebab pada hadits Jabir disebutkan bahwa dia menguburkan ayahnya di kubur tersendiri, sedangkan dalam hadits Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa keduanya didapatkan dalam satu kubur setelah berlalu 46 tahun. Maka mungkin yang dimaksud dengan ‘keduanya berada pada satu kubur’ ialah kedekatannya, atau banjir telah melubangi salah satu kubur sehingga keduanya seolah menjadi satu. Riwayat yang semisal riwayat Al-Muwaththa’ juga dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi dan Ibnu Sa’d melalui jalur Abiz Zubair dari Jabir dengan isnad yang shahih.”} 
Wallahu a’lam bish-shawab.


Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini


Minggu, 18 November 2012

Aku Heran dengan Pria yang Menginginkan Wanita Sholehah

Aku heran dengan pria yang menginginkan wanita sholehah
Tetapi dia mendatanginya, menyentuhnya, memacarinya
Menggodanya, merayunya, memeluknya dan bahkan berdua-dua dengannya
Akhirnya wanita itu senang dan pria yang menginginkan wanita sholehah tadi juga senang
Senang karena nafsu, senang karena puas baik pria itu maupun wanita yang tadinya sholehah itu

Aku heran dengan pria yang menginginkan wanita sholehah
Tetapi dia berkata dia mencintai wanita itu melebihi segalanya bahkan Allah juga
Dia berkata dia merindukan wanita itu melebihi segalanya bahkan Allah juga
Dia berkata wanita itulah yang menjadi dambaannya,
Dia bilanag dia mencintainya karena Allah, Allah yang mana?
Apakah pria itu membandingkan wanita itu dengan Allahnya dan
Allahnya kalah?? Naudzu billah
Lalu apa?
Wanita itu senang, dia terkulai, dia terjatuh dan dia merindu dan merindu
Wanita yang tadinya sholehah,,,


Lalu aku mau tanya?
Apa benar pria itu menginginkan wanita Sholehah?
Yang jika awalnya wanita itu ada memang Sholehah maka rusaklah Sholehahnya karena jatuh dipelukan pria itu
Jika wanita itu kurang Sholehah maka bertambahlah buruknya
Sekarang? Apa benar pria itu menginginkan wanita Sholehah
Yang berkata akan menjadi Imam yang baik, tetapi
Diakah Imam atau Setan dari golongan manusia
Karena mampu mengubah wanita itu
Menjual agama dengan Syahwat

Akupun bisa khilaf, bisa lebih parah
tetapi aku ingin berkata seperti ini
Hanya Allahlah Pelindungku


TTd:
Zairif Hutabarat


Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini


Sabtu, 27 Oktober 2012

Kenyataan yang Salah

Wahai Dzat yang Wujud Nya yakin dan diyakinkan, hamba mohon dekaplah hamba yang berwujud lemah dan ragu ini, hamba sangat letih untuk perasaan ini,,,,

Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini


Senin, 22 Oktober 2012

Syarat Sah Membaca Surat Al Fatihah


Adapun Syarat Sah Membaca Surat Al Fatihah itu ialah :
  1. Tertib (sesuai urutan ayatnya).
  2. Terus menerus (tanpa terputus oleh perbuatan lain).
  3. Memperhatikan huruf-hurufnya (makhraj) serta tempat-tempat tasydid.
  4. Memperhatikan tasydid-tasydidnya
  5.  Tidak lama terputus antara ayat-ayat Al Fatihah ataupun terputus sebentar dengan niat memutuskan bacaan.
  6. Membaca semua ayat Al Fatihah dan basmalah termasuk salah satu ayat Al Fatihah.
  7. Tidak menggunakan lahn (nada/irama bacaan) yang dapat merubah makna.
  8. Memabaca surat Al Fatihah dalam keaadaan berdiri ketika sholat fardhu.
  9. Memperdengarkan bacaan Al Fatihah untuk dirinya sendiri.
  10. Tidak terganggu oleh dzikir orang lain.
Disadur dari kitab Syafii Natun Najah karya Imam Syafii


Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini


Minggu, 23 September 2012

Syarat Takbiratul Ihram


Syarat takbirotul ihrom ada enam belas, yaitu:

1. Dilakukan dalam keadaan berdiri jika shalat fardhu
2. Diucakpkan dengan bahasa Arab
3. Menggunakan lafal “Allah”.
4. Menggunakan lafal “Akbar”.
5. Berurutan antara dua lafal tersebut.
6. Tidak memanjangkan huruf “Hamzah” dari lafal “Allah”.
7. Tidak memanjangkan huruf “Ba” dari lafal “Akbar”.
8. Tidak mentaysdidkan huruf “Ba” tersebut.
9. Tidak menambahkan huruf “Waw berharakat” atau “waw sukun” diantara dua lafal tersebut
10. Tidak menambah huruf “Waw” sebelum lafal “Allah”.
11. Tidak berhenti antara dua kata tersebut baik lama maupun sebentar
12. Ucapan “Allahu Akbar” dapat didengar oleh dirinya sendiri.
13. Masuk waktu sholat jika shalat tersebut memiliki waktu tertentu.
14. Mengucapkan takbiratul ihram sambil menghadap qiblat.
15. Tidak salah dalam mengucapkan salah satu dari huruf kalimat tersebut.
16. Takbiratul ihram ma’mum harus dilakukan sesudah takbiratul ihram sang imam

Disadur dari : MATAN SAFIINATUN NAJAAH

Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini


Rabu, 08 Agustus 2012

Cara Berniat yang Benar


Tasbih on Sajadah
Dalam struktur dan penggunaannya niat itu tersusun dalam tiga bagian terpenting yang harus diketahui yaitu :
  •  Fi’il yaitu lafal sengaja meniatkan:  (aku niat shalat),
  • Ta’yin adalah nama atau keadaan yang akan di niatkan  seperti: (dzuhur) atau (ashar).
  •  fardhiyah adalah kedudukan dari yang akan diniatkan lafal:  (wajib) atau (sunat)

 ketiga inilah unsur yang harus diketahui sipeniat sebelum melakukan ibadahnya, dan untuk berniat yang benar itu ada tiga derajat, yaitu:
  1. Jika sholat yang dikerjakan adalah shalat fardhu, maka diwajibkan untuk memaksudkan fi'il, ta’yin dan fardhiyah
  2. Jika sholat yang dikerjakan adalah shalat sunnah yang memiliki waktu tertentu -seperti shalat sunnah rawatib - atau sebab tertentu, maka diwajibkan untuk memaksudkan fi'il dan ta'yin saja.
  3.  Jika sholat yang dikerjakan adalah shalat sunnah (muthlaq: tanpa sebab), maka diwajibkan memaksudkan fi'il saja.

Dilain dari itu semua, niat itu mutlaknya di hati bukan di lafadz dan inilah pendapat para imam 4 mahzab mengenai hal pelafalan
  1.      Imam Syafi’i :

  •   Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan: “Niat itu tempatnya didalam hati dan disunnatkan melafazkannya sesaat sebelum takbir”.
  •   Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz yakni menyimpang. Kesunnatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazan dalam niat haji”.
  •  Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 1/437 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dan karena pelafazan itu dapat menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkan”

Selain itu menurut Imam Syafi’i niat sholat tepat saat Takbiratul Ihram di dalam hati tidak boleh sebelumnya maupun sesudahnya.

2     Imam Maliki :

  •  Dalam kitab  Al-Fighul Islami  jilid 1/214, menurut madzhab Maliki diterangkan bahwa: “Yang utama adalah tidak melafazkan niat kecuali bagi orang yang was-was, maka disunatkanlah baginya melafazkan agar hilang daripadanya keragu-raguan”.

3.      Imam Hambali : adalah sunnah melafalkannya, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.


4.      Imam Hanafi : melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri)


Wallaahu a’lam
Semoga bermanfaat
Disusun oleh zairifblog dari berbagai sumber.