Sabtu, 17 Juli 2010

Arah Kiblat bergeser ke Barat Laut

Sumber VIVAnews:
VIVAnews - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meralat fatwa yang mereka terbitkan mengenai arah kiblat saat melaksanakan salat bagi umat Muslim. Semula, arah kiblat mengarah ke Barat.

"Sekarang jadi Barat Laut. Ada penyempurnaan," kata Ketua Komisi Fatwa MUI, Anwar Ibrahim di tvone, Kamis 15 Juli 2010. Dia menolak jika pergeseran arah salat ini disebut sebagai perubahan.

Sebenarnya, kata dia, hal ini belum dipublikasikan. "Tapi karena sudah disiarkan media...," kata dia.

MUI, kata dia, mengimbau seluruh masjid di Indonesia untuk menera ulang arah kiblat 14-18 Juli 2010.

MUI juga menghimbau agar setiap masjid menyesuaikan dengan letak geografis masing-masing. "Jika ditanya ada perubahan berapa derajat, MUI tidak menetapkan derajatnya," kata dia. Penyempurnaan ini, kata dia, dibantu dengan teknologi.

Arah kiblat untuk salat ini sempat menjadi perdebatan beberapa waktu lalu. Salah satu penyebabnya adalah gempa. (hs)

Jumat, 16 Juli 2010

jawaban Mana Duluan, Ayam atau Telur?

Sumber: yahoo & viva news:

VIVAnews - Para ilmuwan berhasil menjawab salah satu tebak-tebakan tertua di dunia, mana yang lebih dulu, ayam, atau telur?
Melalui komputer super, tim dari Universitas Sheffield dan Warwick, Inggris menemukan jawabannya. Apakah itu? Ayam.

Kepada laman Harian The Sun, ketua tim peneliti menjelaskan bagaimana mereka berhasil memecahkan teka-teki tersebut.

"Apa yang kami temukan adalah 'kecelakaan' yang menyenangkan. Awalnya, tujuan penelitian kami adalah menemukan bagaimana binatang membuat cangkang telur."

Menurutnya, selama ini, masyarakat telah menganggap remeh ayam. Kami tidak menyadari proses luar biasa yang ditunjukan para ayam dalam proses pembuatan telur.

"Sadarkah Anda, ketika memecahkan kulit telur rebus di pagi hari, Anda sedang menyaksikan salah satu material luar biasa di dunia."

Cangkang telur memiliki kekuatan sangat luar biasa, meski beratnya sangat ringan. Manusia tak bisa membuat benda seperti itu, bahkan yang mendekatinya.

"Masalahnya, kita tak tahu bagaimana ayam membuat cangkangnya."

Tim peneliti lalu menggunakan komputer super milik Dewan Riset Sains Inggris (UK Science Research Council) yang berbasis di Edinburgh. Komputer itu dinamakan HECToR (High End Computing Terascale Resource).

"Kami ingin menelusuri bagaimana telur terbentuk, dengan melihat proses detail telur secara mikroskopis."

Yang pertama dicari adalah, mengetahui 'resep' yang digunakan ayam untuk membuat cangkang telur.

"Dengan bantuan komputer canggih, Kami memecahkan masalah ini selama berminggu-minggu. Sementara, ayam bisa menyusun cangkang itu hanya dalam semalam."

Lucunya, pemilihan cangkang telur ayam sebagai fokus penelitian benar-benar tak disengaja. Para peneliti memilih telur ayam karena proteinnya sederhana untuk ditelaah.

Namun hasilnya ternyata sangat mengejutkan. "Kami memecahkan teka-teki sepanjang masa. Ini mengagumkan."

Hasilnya, ditemukan protein khusus yang ada di tubuh ayam. Protein itu adalah adalah 'tukang bangunan' tanpa lelah, menyusun bagian-bagian cangkang mikroskopis membentuk cangkang telur.

Protein itu menginisiasi proses pembentukan cangkang sebelum menyusun bagian telur yang lain.

Tanpa protein pembangun tersebut, telur tak mungkin terbentuk. Dan, protein itu hanya ditemukan di rahim ayam. "Itu berati ayam ada duluan sebelum telur."

Tapi, dari mana ayam berasal?

Beberapa teori mengatakan, nenek moyang ayam menciptakan telur zaman Dinosaurus.

"Penemuan kami sangat potensial. Sebab, cangkang telur dibentuk dari banyak kristal kecil. Kita bisa menggunakan informasi ini untuk mengetahui cara membuat dan menghancurkan struktur kristal lainnya."

Sebagai contoh, untuk menghilangkan kerak di ceret maupun pipa. Penelitian ini juga berimplikasi medis.

"Karena tubuh kita menggunakan metode yang sama untuk membuat gigi dan tulang, kita bisa belajar lebih banyak tentang bagaimana membangun kembali tulang manusia." (adi)


Rabu, 14 Juli 2010

Perceraian Adat Suku Nias

Hukum Adat Perceraian di Nias: Adilkah?
                Suami dapat menceraikan isteriPerceraian sangat tidak menarik dibicarakan, karena setiap keluarga tidak ada yang menghendaki perceraian setelah menikah. Perceraian hanyalah akan menurunkan martabat seseorang yang melakukannya.
                Bamböwö Laiya mengatakan bahwa “Perceraian sangat jarang terjadi di Nias, karena selain jujuran yang tinggi yang menyulitkan seseorang untuk kawin kembali, juga karena laki-laki yang menceraikan isterinya dan wanita yang diceraikan suaminya kurang dihargai di dalam desa. Si laki-laki akan dikecam sebagai orang yang tak bertanggungjawab sedangkan si wanita akan dituduh sebagai isteri yang tidak becus.   Baik si laki-laki maupun si wanita yang telah bercerai sama-sama menghadapi kesukaran untuk mendapatkan jodoh kembali (Bamböwö Laiya, 1993:53).
              Karena itu pula kasus perceraian kelihatannya tidak banyak terjadi di Nias. Di samping itu, hukum adat Nias sendiri tidak memberikan peluang yang lebih besar untuk melakukannya. Namun aturan perceraian yang digariskan dalam hukum adat memiliki tendensi pada ketidak-adilan terutama bagi si isteri.
Intelektual Nias Drs. W. Gulö menulis bahwa “Menurut adat Nias, hak menceraikan hanya ada pada suami. Menceraikan seorang isteri hanya dapat dilakukan apabila ternyata isteri tersebut telah melakukan perbuatan zinah dengan laki-laki lain. Pihak mertua si suami dapat juga menceraikan sementara, apabila di antara suami-isteri terjadi ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan tekanan berat terhadap si isteri (Drs. W. Gulö, 1983: 199).”
                         Hal senada juga ditulis oleh Rosthina dkk bahwa “Menurut adat etnis Nias, hak menceraikan hanya ada pada suami. Menceraikan seorang isteri hanya dapat dilakukan apabila; ternyata isteri tersebut telah melakukan perbuatan zinah dengan laki-laki lain. Kalau hal ini terjadi dahulu, maka kedua yang berjinah itu dipancung. Apabila tidak dipancung, ditebus oleh seorang Salawa, maka laki-laki yang berbuat zinah itu harus membayar “höli-höli döla mbagi” (penebus batang leher) artinya: penebus jiwa, (Dra. Rosthina R. Sirait Laoli dkk, 1984/1985: 38.”
                      Perzinahan awal perceraianTulisan itu menekankan bahwa “hanya perjinahan” yang bisa menjadi penyebab perceraian antara suami isteri, sementara penyebab lainya tidak dihiraukan. Mungkin ini maksudnya agar segala masalah yang menyulut konflik dalam rumah tangga harus bisa diselesaikan oleh suami isteri, sehingga keluarga mereka tetap utuh kecuali jika isteri melakukan perbuatan jinah atau salah satu di antara mereka meninggal dunia.
                      Ketika seorang laki-laki dinikahkan dengan seorang perempuan, sejak itu pula ia harus bisa bertindak dewasa paling tidak terpaksa dewasa. Diberikan segala hak-haknya secara adat mulai dari keluarga, lingkungan dan masyarakat kampung yang lebih luas. Namun, kenyataan yang terjadi bahwa dalam hidup sehari-hari persoalan rumah tangga selalu muncul dan bahkan berakhir dengan perceraian yang menurut hukum adat sendiri tidak memperbolehkannya. Masalah ekonomi keluarga dan tanggung jawab kedua belah pihak dalam mempertahankan keluarga mereka merupakan persoalan yang sering melanda keluarga. Ketidak-matangan dan kekurang-dewasaan kedua belah pihak juga menjadi penyebab segalanya. Pendidikan minim, ketidak mandirian dan kurangnya pemahaman akan pentingnnya komunikasi di antara suami-isteri menjadi sumbatan kelangsungan hidup rumah tangga. Tujuan membangun keluarga pun sering kali hanya terfokus pada keinginan memperoleh keturunan, terutama anak laki-laki.
Suami berpoligamiSelalu ditekankan bahwa perzinahan yang dilakukan oleh si isteri merupakan awal dari perceraian. Namun sesungguhnya banyak juga yang cerai oleh karena suami berpoligami. Biasanya poligami terjadi karena sang suami melakukan zinah kepada wanita lain sehingga terpaksa dia harus menjadikan wanita tersebut menjadikan isteri kedua. Karena itu pihak isteri pertama tidak bisa menerima dan tidak mau dimadu, lalu kembali ke rumah orang tuanya. Perceraian pun banyak dilakukan diam-diam saja. Bahkan ada juga di antara meraka yang kembali bersatu lagi, dimana si suami melakukan kewajiban-kewajiban adat. Bahkan ada juga yang tanpa syarat, namun pihak suami meminta pihak ketiga yaitu para tokoh adat untuk memanggil si isteri.
                    Usia terlalu mudaAkan tetapi semuanya itu terjadi karena tidak sedikit di antara suami isteri yang menikah pada umur yang sangat muda dan dalam perencanaan perkawinan mereka lebih didominasi oleh orangtua dan seluruh kerabatnya. Dan ini masih berlangsung terus-menerus di pedesaan terutama di wilayah yang belum memiliki akses transportasi. Misalnya di desa Hilimondregeraya dan desa Hilinamöza’ua kecamatan Teluk Dalam.
                    Sekarang ini memang ada juga perkawinan usia muda yang disebabkan oleh saling ketertarikan di antara kedua remaja itu sendiri walaupun umur mereka masih sangat muda. Akan tetapi kesiapan dan pemikiran mereka tidak sampai merencanakan bagaimana membangun rumah tangga itu. Yang penting kawin dan punya anak. Selebihnya tergantung orangtua laki-laki dan alam.
Perkawinan pada usia muda itu telah menjadi pemicu yang mengakibatkan kerentanan keluarga akan perceraian. Orang-orang yang dikawinkan pada usia muda ini, apalagi di bawah umur tentu tidak bisa diharapkan untuk mampu menyelesaikan segala persoalan hidup yang dari waktu ke waktu semakin berat dan kompleks apa lagi setelah punya anak yang dari tahun ke tahun jumlahnya bertambah terus. Mereka terpaksa menjadi orangtua pada umur 16 tahun bahkan banyak juga yang belum mencapai umur 16 tahun (13-15 tahun), tetapi orangtuanya menganggap sudah layak untuk berkeluarga. Beberapa kasus perkawinan terjadi pada umur 12 tahun.
                 Campur tangan orangtua suamiUsia yang terlalu muda untuk menikah membuat mereka tidak mandiri. Ketergantungan mereka kepada orangtua juga sering mendorong campur tangan orangtua dalam urusan rumah tangga anaknya terlalu besar. Ibu mertua terlalu melakukan kontrol yang ketat terhadap si isteri anaknya. Baik suami maupun isteri berada di bawah kendali orangtua pihak suami. Kondisi ini sering menimbulkan percekcokan keluarga, sebab sekali pun pasangan suami isteri itu masih terlalu muda, tetapi toh sesunggunya mereka sudah menjadi keluarga yang otonom.
                         Si isteri yang belum matang dari sisi umur harus menjalankan seluruh kewajibannya terutama kewajiban adat. Jika ia tidak dapat melakukannya maka tentu saja dia akan dianggap rendah oleh pihak keluarga si suami. Selain itu suami yang belum memiliki perencanaan dalam membentuk keluarganya sangat jauh lebih banyak memberi perhatian pada orangtuanya dari pada isteri. Bahkan terdapat banyak suami yang menyerahkan penghasilannya di tangan ibu kandung, bukan di tangan isteri. Tindakan ini dianggap sebagai balas budi orangtua yang terus-menerus membimbing anaknya hingga menikah dan bahkah sampai membayar seluruh mas kawin dalam perkawinan putranya termasuk utang-utangnya karenaperkawinan itu.
                    Faehu niha na no mangowaluSelain keinginan untuk mendapatkan keturunan, perkawina usia muda sering kali dilakukan untuk menghindari perbuatan yang tidak diinginkan, terutama perjinahan. Perkawinan juga dipandang sebagai salah satu cara untuk memacu proses pendewasaan seseorang. Banyak masyarakat yang memandang bahwa “faehu niha na no mangowalu” (orang akan berubah setelah berkeluarga) hanya karena melihat beberapa kasus. Seolah-olah dan merupakan hukum alam bahwa seseorang akan berubah dengan sendirinya ketika dia sudah berkeluarga(kawin). Jika dulu, seorang laki-laki kerjanya hanya malas-malasan atau berfoya-foya, maka setelah menikah ia akan berubah. Ia akan rajin berkerja dan juga hidup hemat karena sudah ada tanggungjawabnya yaitu untuk menghidupi keluarganya.
Walaupun tidak semua, pandangan ini telah banyak mendorong orangtua si laki-laki untuk menikahkan anaknya dan pada akhirnya menjadi beban pemikiran sendiri karena keluarga muda tersebut belum siap untuk membangun dan menjalankan keluarga yang ideal.
            Gagambatö Istilah ini lebih populer di Nias Selatan, khususnya Telukdalam. Sebuah keluarga atau seseorang akan dipandang sebagai “gagambatö” jika ia telah melakukan paling tidak 2 hal dalam hidupnya, yaitu telah mendirikan rumah sendiri (motomo/molau omo) dan telah menikahkan/mengawinkan semua putranya (faöli ono/mamangowalu ono). Jika kedua hal ini telah dicapai maka seseorang dianggap telah meraih prestasi dan hidupnya dianggap sejahtera “ahono dödö (hidupnya tenang) atau “ohahau dödö” (bahagia). Walaupun setelah itu bukan saja kebahagaiaan yang dialami melainkan penderitaan karena masih ada utang dan harta semakin berkurang karena jumlah anggota keluarga juga bertambah.
                  Selain karena utang, mereka juga semakin tidak merasakan ketenangan dan kebahagiaan di kala keluarga putra mereka sering dilanda konflik baik antara suami isteri, orangtua dan saudara-saudaranya yang lain.
                Menikah/kawin dan mendirikan rumah selalu menciptakan utang baik itu secara pinjaman dari renteiner maupun utang secara adat/pinjaman lunak kepada para kerabat yang disebut “zulöna” yang harus dibayar ketika pemberi membutuhkannya karena dia telah memberi pada saat kerabatnya kawin atau mendirikan rumah. Karena itu sering dikatakan bahwa “Lö sifaöli/sangowalu si mo’ömö.” Tak ada seorang pun yang menikah tanpa utang. Demikian juga pada pendirian rumah. Sekalipun pesta perkawinan sudah selesai, akan tetapi kewajiban secara adat terhadap pihak keluarga isteri tetap harus dilakukan, demikian juga sebaliknya. Pada acara puncak selalu dipesankan kepada pihak pengantin laki-laki bahwa “Hönö mböwö no awai, hönö mböwö no tosai” sebagai pertanda bahwa kewajiban adat akan terus berlangsung.
                Jumlah utang dalam perkawinan bisa jadi tidak terlalu besar jika yang bersangkutan memiliki saudara banyak, karena mereka akan memememberikan bantuan yang tidak dibayarkan kembali. Namun untuk mendapatkan bantuan dari mereka terlebih dahulu dijamu dalam bahasa Nias disebut “So’i” atau “fanofulo/fangowulo dalifusö” dan kerabat lain “Si tenga bö’ö” yang dihitung sebagai saudara perempuan “Ono alawe.”
               Penyebab perkawinan usia muda lainnya ialah keinginan orangtua si laki-laki untuk menjalin hubungan kekeluargaan dengan keluarga tertentu yang diketahui memiliki hubungan baik dan menghormati (mamosumange) mereka “si fatahö dödö.” Untuk menguatkan hubungan itu, maka mereka teruskan dengan menikahkan putra-putri mereka.
                Tidak sedikit yang cerai Secara singkat sering dikatakan bahwa “Orang Nias tidak mengenal perceraian” padahal faktanya tidak sedikit keluarga yang bercerai. Hanya saja konsep dan proses perceraian yang terjadi tidak seperti yang kita ketahui sekarang ini misalnya peceraian menurut undang-undang Negara tentang perceraian, baik melalui jalur Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.
             Misalnya di salah satu desa di Kecamatan Teluk Dalam, penulis mengidentifikasi paling tidak kurang dari 54 orang perempuan yang pernah mengalami perceraian semasih hidup (fabali auri). Ke 54 orang perempuan tersebut, dulunya sudah menikah akan tetapi kemudian berpisah dengan suaminya karena berbagai macam penyebab.
              Dari ke-54 orang tersebut, terdapat 13 kasus perceraian yang disebabkan perbuatan jinah yang dilakukan oleh si isteri dengan laki-laki lain. Sedangkan yang lainnya disebabkan faktor lain terutama kekurang-matangan, umur terlalu muda saat menikah, pendidikan sangat minim dan ketergantungan pada orangtua atau ketidak mandirian si suami dalam membina rumah tangganya.
                Akhir-akhir ini, kadang juga perceraian juga terjadi karena si suami pergi merantau untuk mengadu nasib di seberang. Lama-lama sang suami memiliki isteri baru, paling tidak selingkuhan. Dan akibatnya istri yang tinggal di Nias, terlantar begitu saja. Bertitik tolak dari kasus tersebut di atas patut diperkirakan bahwa perceraian semacam itu tidak saja terjadi di desa yang menjadi perhatian penulis, akan tetapi terjadi di seluruh desa di Nias hanya saja jumlahnya pasti beda-beda. Jika Nias dan Nias Selatan terdiri dari 651 desa dan jika dirata-rakan 2 kasus saja per desa, maka jumlahnya tidak sedikit yaitu 1.032 kasus. Maka masalah ini sangat perlu dicermati dan dicari solusinya oleh berbagai pihak.
                       Langkah utama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran agar tidak melakukan perkawinan pada usia muda. Untuk mencegah hal ini diharapkan peran barbagai pihak terutama lembaga keagamaan. Misalnya setiap pemimpin agama boleh memberkati/merestui perkawinan di bawah umur 16 tahun. Dan jika ada pemimpin agama dan pemerintah yang mengesahkan perkawinan di bawah umur, diberikan sanksi yang tegas.
                   Memang dahulu, hukuman bagi orang yang melakukan perjinahan di Nias sangat keras. Misalnya dipancung atau dibenamkan dalam lubuk sungai hingga meninggal dunia. Sekarang ini seiring dengan masuknya ajaran Kristiani dan agama lain di Nias serta undang-undang pemerintah, hukum adat tersebut tidak berlaku lagi. Tinggal aib sosial yang masih ada, itu pun banyak juga generasi muda yang berwajah tembok. Tidak lagi menjaga martabat dirinya sendiri, keluarga, kerabat dan masyarakat sekitarnya. Modusnya pun “ala modern” yang sangat jauh berbeda dengan modus perbuatan jinah tempo dulu. Sekarang banyak anak muda yang terpengaruh dengan pergaulan bebas dan diantaranya terjerumus pada perbuatan seks pra nikah. Mereka tidak dipancung dan dibenam di air lagi, melainkan diarahkan ke pernikahan yang dilegalkan. Pernikahan yang ternoda namun dibungkus rapi.
                         Drs. W. Gulö juga menulis bahwa “baik istiadat maupun BNKP, keduanya sama-sama memperkuat larangan perceraian di antara suami dan isteri. Oleh karena itu perceraian di antara suami isteri itu telah dianggap sebagai suatu kejadian yang tidak umum dan kurang wajar. Tetapi apabila dari suatu perkawinan tidak diperoleh seorang anak, maka orang lebih cenderung untuk berpolygami dari pada menceraikan isteri yang pertama, walaupun berpolygami sendiri dilarang oleh gereja. Sekalipun hal ini umum terjadi, tetapi dari sini nampaklah pengaruh pemikiran adat itu dalam pemikiran orang Kristen (Drs. W. Gulö, 1983:202)
                 Nasib janda Seorang janda “lakha mbanua” yang telah ditinggal oleh suaminya karena mininggal dunia biasanya pulang ke rumah orangtuanya dan memiliki hak untuk menikah lagi. Janda tersebut bersama orangtuanya tidak menerima lamaran orang dalam waktu yang terlalu cepat setelah suaminya meninggal. Biasanya paling tidak satu tahun, barulah ia bisa menerima lamaran seorang laki-laki yang ingin memperisterikan dia.
                Jika seorang perempuan berstatus janda langsung menerima lamaran atau menikah dengan laki-laki lain segera setelah suaminya meninggal dunia, maka akan muncul cemooh atau gossip dari warga. Kadang juga jika si janda terlalu cepat menerima lamaran dari laki-laki yang ingin memperisterikannya, maka pihak keluarga suaminya sering menduga bahwa si isteri menginginkan kematian atau perpisahan dengan suaminya agar bisa kawin dengan laki-laki lain.
                 Dahulu, seorang janda tidak diizinkan begitu saja untuk kembali ke rumah orangtuanya baik janda yang sudah punya anak maupun yang tidak. Banyak di antara para janda itu dikawinkan dengan saudara laki-laki mendiang suaminya dengan melewati tahapan, prosedur dan upacara perkawinan kembali walaupun tidak seketat dan sebesar jujuran bagi seorang perawan.
                  Hak suami sangat terlindungiOleh karena hak perceraian hanya diberikan kepada suami, maka sang isteri sangat dirugikan. Mereka tidak diberi hak untuk menceraikan suaminya yang tidak becus dan tidak bertanggungjawab. Mereka juga tidak diberi hak untuk menuntut haknya untuk mendapatkan harta yang diperoleh secara bersama-sama. Hal ini juga dapat memberi peluang kepada si suami untuk melakukan perjinahan atau paling tidak perselingkuhan dengan wanita lain yang berhaluan pada polygami.
                     Bisa juga terjadi bahwa si isteri tidak diberi hak perceraian karena si suami telah membayar mas kawin (jujuran) “böwö” yang sering dikonotasikan sebagai “böli niha” (harga manusia) di beberapa wilayah di Nias, pihak orangtua suami menyebut isteri putra mereka sebagai “böli gana’a.” Padahal berbicara tentang ”böwö” tidak saja dilakukan oleh satu pihak, karena böwö merupakan proses menerima dan memberi walaupun dalam wujud dan jumlah yang berbeda.
                   Sesungguhnya, tidak ada istilah pelunasan böwö, karena böwö itu dalam konteksnya yang lebih luas harus selalu dilakukan sepanjang manusia itu masih hidup. Manusia yang sudah tidak melaksanakan böwö, ia bukan manusia yang beradab. Böwö sebagi cermin keadaban yang tak bisa lepas dalam diri dan hidup manusia, karena justeru “böwö” yang mencirikhaskan manusia.
                   Bisa juga terjadi bahwa istilah böli gana’a tidak berlaku di seluruh masyarakat Nias dulu, akan tetapi berawal dari ekspresi kekesalan sebagai reaksi orangtua pihak si suami yang diharuskan membayar jujuran perkawinan yang begitu besar kepada orangtua pihak si isteri. Konsekuensinya si isteri (perempuan) yang seyogianya disimbolkan sebagai emas (ana’a, balaki, barasi dll) dipelesetkan menjadi imbalan/tebusan jujuran/emas “böli gana’a.” Jadi istilah “böli gana’a’ sesungguhnya tidak lahir dari keadaban yang murni yang menunjukkan bahwa pihak pengantin perempuan dan keluarganya memiliki tempat yang harus dihormati. Mereka sering juga disebut sebagai “sawatö” (tujuan) karena merekalah memiliki sumber hidup yang disimbolkan sebagai hulu air “ulu idanö.”
                 Berbeda dengan istilah atau penamaan “sorou tou” (yang berasal dari bawah) atau “sanörö arö nomo” (yang melewati kolong rumah) kepada pihak pengantin laki-laki dan seluruh anggota keluarga serta kerabatnnya. Jadi istilah böli gana’a adalah suatu kotradiksi yang merusak nilai-nilai adat serta martabat pihak si isteri dan keluarga orangtuanya bersama kerabatnya. Böli gana’a merupakan penyelewengan terhadap nilai-nilai budaya perkawinan. Sebab status keluarga laki-laki sebelum menikah sebagai “Soroi tou” tidaklah mungkin menurunkan harga diri/martabat si isterinya dengan memberi nama “böli gana’a atau owöliwa.” Dari pembiasaan “böli gana’a” ini sendiri bisa menimbulkan konflik antara si isteri dan ibu atau bapak mertuanya. Dan pada kondisi tertentu bisa menimbulkan perceraian, jika sang isteri tidak bisa bertahan lagi diperlakukan sebagai suatu barang yang sudah dilunasi harganya.

(Penulis: Nata’alui Duha, S.Pd.Wakil Direktur Museum Pusaka Nias)
Jika ada kesalahan mohon kirim email ke


FOLAU BAWI ( Mengantar Babi Adat )

Sehari sebelum perkawinan ,pihak laki-laki mengantar kedua ekor babi perkawinan dan seekor pengiringnya ke rumah keluarga perempuan. Ke-2 Babi Adat ini diberangkatkan dari rumah keluarga laki-laki dengan upacara tertentu, dan disambut oleh pihak perempuan juga dengan upacara tertentu dengan syair yang berbalas-balasan.Kedatangan rombongan pihak laki-laki disambut dengan memotong dua ekor babi yang dimakan bersama juga untuk dibawa pulang.
Acara ini disebut Fondroni Bawi, dengan rincian pembagian Babi Adat adalah sebagai berikut :
  • Babi yang pertama ; yang paling besar untuk keluarga perempuan (So’ono ) dan pihak paman si gadis ( Uwu )
  • Babi yang kedua, diperuntukkan bagi warga kampung keluarga si gadis ( Banua ) dan pihak laki-laki ( Tome )
Menguliti dan memotong-motong babi ternyata tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Babi yang paling besar jatuh pada keluarga yang paling dihormati oleh keluarga yang menyelenggarakan pesta, demikian seterusnya hingga babi yang paling kecil.. Yang paling sulit adalah melepas rahang (simbi), karena simbi tidak boleh rusak. Simbi adalah bagian paling berharga dari babi.Cara memotong-motong daging babi di Nias dipotong secara teratur dan mengikuti pola yang nampaknya sudah lazim di sana.
1. Pertama, melepas bagian simbi.
2. Kedua, membelah babi dari mulai ujung hidung, sebelah telinga, hingga ekor yang disebut söri.
3. Ketiga, membagi bagian perut dari söri dengan menyertakan sedikit telinga yang disebut sinese.
4. Keempat, membagi rahang atas menjadi dua, yang mereka sebut bole-bole.
5. Kelima, memotong kaki belakang, disebut faha.
6. Keenam, memotong kaki depan yang disebut taio. Semua babi dikuliti dan dipotong-potong dengan cara yang sama, lalu dibagikan kepada hadirin, kerabat, dan tetangga sesuai stratanya masing-masing.
  •  Simbi adalah haknya ketua adat atau orang yang paling dihormati.
  •  Söri adalah haknya ketua adat, para paman, mertua, dan ketua rumpun keluarga.
  •  Sinese adalah haknya ketua adat, adik atau kakak laki-laki, tokoh agama, dan tokoh pemerintah.
  •  Bole-bole adalah haknya ketua adat, ketua rumpun keluarga, dan salawa.
  •  Faha adalah haknya keponakan dan anak perempuan.
  •  Taio diberikan khusus untuk para pemotong.
  •  Menurut adat, pihak FADONO ( saudara wanita dari penganten perempuan ) berhak menerima salah satu ta’io ( kaki depan ) yang dipotong dalam upacara itu
.Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati dengan caramemberi babi). Selain itu, babi pun banyak yang harusdisembelih dengan berbagai macam fungsional adatnya,misalnya:
  1.  Tiga ekor bawi wangowalu (babi pernikahan)
  2.  Seekor babi khusus untuk fabanuasa (babi yangdisembelih untuk dibagikan ke warga kampung dari pihakmempelai perempuan)
  3.  seekor untuk kaum ibu-ibu (ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai pada waktu fame’e
  4. seekor untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki),
  5. Babi yangdipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö”.
  •  Seekor untuk “nga’ötö nuwu” (paman dari ibu mempelai perempuan),
  •  Sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai perempuan),
  •  Seekor untuk talifusö sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan),
  • Seekor untuk “sirege” (saudara dariorangtua mempelai perempuan),
  •  Seekor untuk“mbolo’mbolo” (masyakat kampung dari pihak mempelai perempuan, biasanya babi ini di-uang-kan dan uang itudibagikan kepada masyarakat kampung)
  •  Seekor untuk onosiakhi (saudara bungsu mempelai perempuan),
  •  Seekor untuk balö ndela yang diberikan kepada siso bahuhuo,
  •  Jika pas hari “H” perkawinan, ibu atau ayah atau paman, atau sirege dari pihak saudara perempuan menghadiri pesta perkawinan, maka mereka-mereka inijuga harus difolaya, biasanya seekor hingga tiga ekorbabi)

FAME’E ( Nasehat untuk calon mempelai )

FAME’E ( Nasehat untuk calon mempelai )
3 Hari sebelum perkawinan dilakukan upacara fame’e ( tuntunan cara hidup untuk berumah tangga ) Calon pengantin pria ditemani teman-temannya ( ortu tidak ikut ) datang ke rumah perempuan membawa seperangkat sirih.Para ibu-ibu pihak keluarga perempuan menasehati sang gadis, biasanya si gadis menangis ( fame’e = menangisi sigadis, karena akan pisah dengan keluarga )
Mulai saat fame’e dibunyikanlah gong ( aramba ) dan gendang ( gondra ) terus menerus ,sampai hari pesta dilaksanakan. Sang gadispun dipingit, untuk menjaga kesehatan dan kecantikannya..
Dalam adat NIAS, peran paman sangat dihormati ( paman =sibaya /saudara laki - laki ibu si gadis ) sebelum pernikahan dilangsungkan, maka pihak perempuan melaksanakan Fogauni Uwu ( Mohon doa restu Paman untuk pelaksanaan pernikahan mendatang ).


Fanga'i Bowo (Mengambil beras bantuan )

FANGA’I BOWO (Mengambil beras bantuan )
Pihak perempuan datang mengambil beras bantuan ke pihak pria untuk mengambil beras bantuan pada pesta kawin,tanda waktu pelaksanaan tidak berobah lagi
Jumlah beras yang diambil adalah sebanyak = 4 Zoe + 2 Lauru
Catatan :
  • 1 Zoe = 14 Kaleng
  • 1 Zoe = 10 Lauru
  • 1 Lauru = 24 takaran
       Nama / Name Nias : Lauru
       Indonesia : Takaran
       English : Measurement
      Asal / Origin : Sohaya-Lazagadolu, Lauru
Nias Tengah Keaslian / Originality : OriginalDeskripsi / Description :
Measurement of rice, grain and nut. It contains 7500 gram of rice.
Takaran beras, gabah dan kacang. Dianyam dari batang tumbuhan jalar ‘Tutura atau Tura-tura.’ Volumenya: 7500 gram beras. Tinggi 24,2 cm dengan diameter lingkaran 28,1 cm.
Jenis Takaran :
1).Takaran/ Tetehösi, Idanögawo/ Volumenya: 1500 gram beras. Tinggi 15,5 cm, dengan diameter 16,7 cm.
Takaran

2).Takaran(Nali) / Ambukha, Nias Tengah Volumenya: 375 gr beras. Tinggi 9,8 cm dengan diameter 9,7 cm.


3).Takaran/ Ambukha, Nias Tengah
Volumenya: 500 gram beras. tinggi 10,4 cm dan diameter 10,85 cm.

4).Takaran (Hinaoya) Lölö’ana’a, Nias Tengah Volumenya: 750 gram beras. Tinggi 16,8 cm dengan diameter 11 cm.


FANU’A BAWI ( Melihat Babi Adat )

FANU’A BAWI ( Melihat Babi Adat ).
Pihak perempuan datang melihat kedua ekor babi perkawinan, cocok atau tidak menurut persyaratan : Kedua ekor babi yang melambangkan kedua pihak keluarga ,dipelihara secara khusus sejak kecil hingga besarnya sekitar 100 Kg atau lebih,Babi tidak boleh cacat,ekornya mesti panjang,dan warna bulunya harus sama ,tidak boleh berwarna belang atau merah, warnya harus satu hitam atau putih.Babinya berwibawa ( terlihat dari taringnya,ekornya ,bulu tengkuknya ) Pada saat FANU’A BAWI Pihak pria menyediakan dua ekor babi untuk dimakan bersama dan saat pihak perempuan pulang diserahkan lagi 10 gram emas dan sebagian daging babi tadi.
Materi acara dalam Fanu’a Bawi adalah :
• Menentukan hari dan tanggal perkawinan ( falowa )
• Persiapan sehubungan perlengkapan perkawinan.
• Menghitung/mengingatkan jumlah mahar yang masih belum dibayarkan

• Besar bowo ( mahar ) ditentukan oleh tinggi rendahnya kedudukan dalam adat.
Penerimaan Bowo adalah sebagai berikut :
a. Tolambowo ( orang tua kandung ) menerima 100 gram emas
b. Bulimbowo ( famili terdekat ) menerima 20 gram emas dan dibagi rata.
c. Pelaksanaan penerimaan bowo ini dilakukan pada waktu pesta perkawinan.

Famekola

FAMEKOLA ( Pembayaran Uang Mahar )
Keluarga pria datang ke pihak perempuan untuk membayar mahar dengan membawa seperangkat sirih dan 10 gram emas.
Pihak perempuan menyambut dengan menyediakan 3 ekor babi, untuk :
1. Satu ekor untuk rombongan yang datang.
2. Satu ekor untuk ibu pengantin pria
3. satu ekor lagi dibawa pulang hidup-hidup

Selasa, 13 Juli 2010

Fanema Bola

Fanema Bola ( penentuan jujuran )

Kunjungan pihak perempuan ke rumah pihak lelaki tanpa disertai penganten perempuan, hanya disertai saudara laki-laki si perempuan .Kedatangan pihak perempuan disambut dengan menambatkan 2 ekor babi besar ( @ 50 kg ) untuk dimakan bersama,babi dibelah sama rata.
Acara penghitungan jujuran ini disebut femanga bawi nisila hulu ( = artinya seekor babi dibelah dua dari kepala sampai ekor; separoh untuk perempuan dan separohnya untuk lelaki, sebagai simbol kesepakatan,mempersatukan dua keluarga , tanda pertunangan tidak dapat dibatalkan lagi.Jika batal perempuan harus mengembalikan jujuran lipat ganda atau pihak pria tidak menerima jujuran jika batal sepihak oleh pria.
Acara ini disebut :
• Fanunu manu sebua ( Daerah Laraga )
• Famorudu nomo ( Moro’o)
• Fangerai bowo ( Daerah Aramo,To’ene)
• Fanofu bowo ( Bawomataluo )
• Mamalua angeraito bowo
Besarnya jujuran yang harus dibayar oleh pihak laki-laki berbeda menurut derajat sosial dan wilayah adatnya
Derajat sosial di daerah NIAS SELATAN terbagi atas :
i. Si’ulu ( Kaum Bangsawan )
ii. Si’ila ( Kaum Cerdik Pandai )
iii. Sato ( Masyarakat Awam )

Derajat sosial di NIAS UTARA,TENGAH,BARAT terbagi atas
1. Bosi si siwa
2. Bosi siwalu
3. Bosi si fitu

Tanggal 1 February 1921 Penetapan bowo ( jujuran ) oleh Belanda dan Zending RMG diberlakukan di NIAS adalah sebagai berikut :
TuhenoriSalawaSato
f 215,00f 133,33 1/2f 106,66 1/2
KHUSUS NIAS BARAT
f145,00f 92,5f 67,5
Belum termasuk 2 ekor babi perkawinan ( f = firo/gulden belanda )

Tahun 1939 Musyawarah para TUHENORI menetapkan jujuran sebagai berikut :
Daerah Wilayah AdatBesarnya jujuran ( dalam gulden )*f 20 ( 20 gulden ) = 1 pau=10 Gram Emas
Bosi si siwaBosi si waluBosi si fituKet
f.250f.193f.117
Total harga emas125 Gram emas96,5 Gram emas58,5 Gram emas
Daerah Wilayah Adat NIAS BARATMoro’o
Belum termasuk fasumangeta ( Penghor
rmatan ) yaitu adat famolaya ( jamuan makan ) pihak laki menghormati pihak perempuan,Babi 1 dipotong;1 hidup diberikan kepada :
Bapak si gadis
Ibu si gadis
Saudara laki Bapak si gadis
Uwu ( paman si gadis )
Saudara laki laki si gadis
Bosi si walu
79 wa 4 alisi
Setara 20 pau (batu ) emas ;1 pau = 10 gram

Di NIAS SELATAN besar jujuran berbeda menurut wilayahnya

Wilayah Adat
NIAS SELATANBesarnya jujuran menurut derajat sosial dalam emas perbatu/* 1 batu emas = 10 gram
Si’uluSi’ilaSato
Bawogosali39277 – 12
Hilisimaetano39277 -- 12
Daro-Daro904020
Tetegewo1005025
Botohili692724
Bawomataluo693712
Hilinawalo69279
Siwalawa993127
Gomo50 -- 1002412


Wilayah Adat
NIAS TENGAHBesarnya jujuran menurut derajat sosial dalam UKURAN BABI/* 100 wa 4 = ukuran 50 kg
100 wa 5 = ukuran 62,5 kg
SisiwaSiwaluSifitu
Idanodou100 wa 480 wa 460 wa 4
Bawolato40 – 80 wa 530 – 40 wa 520 wa 5
100 wa 4 artinya = 100 ekor babi ukuran 4 alisi ( 50 kg )

Dalam acara ini pihak keluarga laki-laki dan perempuan menghitung jujuran yang wajib dibayar oleh pihak laki-laki.Selanjutnya acara Fanema Bola ini adalah memberi angsuran mahar seharga 10 gram Emas + Seperangkat Sirih + Sisa daging babi untuk dibawa sebagai oleh-oleh.
Di kampung siperempuan, sirih dan daging di bagi kepada famili dan banua. Emas dibagi 2 ; yakni = 5 gram untuk orang tua perempuan ; 5 gram lagi untuk famili si perempuan.

Fangoro atau Kunjungan Kerumah Calon Mertua

Fangoro
Kunjungan calon penganten Pria kerumah calon mertua. Satu hari setelah Famigi bowo calon penganten laki datang ke rumah si perempuan membawa nasi dan lauk seekor anak babi yang telah dimasak, serta membawa seperangkat sirih.Penganten laki ditemani adiknya laki-laki.Dirumah si perempuan calon penganten pria disambut dengan seekor anak babi yang dipotong, sebagian dibungkus dibawa pulang untuk oleh-oleh.kepada orang tua laki-laki



Pertunangan Dalam Suku Nias

 Pertunangan ( Famatua )
Pihak laki laki menyampaikan lamaran secara resmi kepada pihak perempuan,tanda jadi peminangan diserahkan Afo si Sara ,yakni :
* Tawuo = sirih
* Betua = kapur sirih
* Gambe= gambir
* Fino = pinang
* Bajo = tembakau

BOLA AFO
Semua bahan bahan ini dibungkus dengan baik,sebanyak 100 lembar sirih disusun berdempet
Inti acara ini adalah pertunangan secara resmi yang berlangsung di rumah pihak perempuan.Pertunangan tahap ini masih longgar yang istilahnya fohu-fohu bulu ladari ( diikat dengan dun ladari ).
Bisa batal tanpa resiko apapun

• Istilah pertunangan ini disebut Famatua
• Famaigi bowo ( Daerah Moro’o )
• Fame Laeduru=tukar cincin ( Daerah Laraga,Tuhegewo/
Amandraya,Aramo,Daro-Daro Balaeka )

Acara Famaigi Bowo dipandu oleh Satua Famaigi bowo (pembawa acara) meliputi ::
  •  Penyerahan babi jantan hidup-hidup ukuran 7 alisi ( 50 kg)
  • Penyerahan Afo si Sara ( sirih ) kira-kira 100 lembar,gambir 25 biji ,tembakau 1 ons,pinang 20 biji,kapur sirih 1 ons, dibungkus dengan baik, dalam bungkusan diselipkan cincin belah rotan ( suasa )untuk bahan tukar cincin, jika dipakai cincin emas dianggap menantang pihak perempuan tentang jujuran.
  •  Kepada pihak perempuan disampaikan maksud dan tujuan kedatangan,kemudian disambut oleh ketua adat pihak perempuan,setelah selesai lalu dilanjutkan makan bersama

Mencari Jodoh dalam Suku Nias

Mencari jodoh .

Pemuda yang ingin mencari jodoh memilih secara diam-diam si gadis, karena adat melarang untuk berhadapan atau berbicara secara langsung dengan si gadis
• Istilah Mencari Jodoh ini disebut Famaigi Niha (Nias Barat,Laraga,Nias Tengah )
• Famakha Bale (Hilinawalo,Nias Selatan )
• Lobi-Lobi ( Hilisimaetano,Bawomataluo,Aramo,Siwalawa )

Tahap mencari jodoh ini juga memakai cara :
a.Manandra Fangifi ( Daerah Tuhegewo,Amandraya,Aramo ) artinya = melihat jodoh baik atau tidak dari     mimpi si laki laki calon mempelai,atau
b.Famaigi todo manu ( Lolowa’u) artinya =: melihat jodoh baik atau tidak dari pemeriksaan jantung ayam
Jika laki-laki telah menemukan jodohnya, maka melalui perantara istilahnya =
• Si’o ( telangkai )
• Balondrela
• Samatua’li
• Si’ila ( Daerah To’ene/NISEL ) menanyakan status gadis kepada HIWA ( keluarga dekat si gadis ) apakah sigadis belum terikat dan bersedia menerima pinangan lamaran.


Perkawinan Suku Nias

TATA CARA URUTAN ADAT PERKAWINAN NIAS
Disusun kembali oleh : Pdm.PETERADY CHRISTIAN ZENDRATO



Penjelasan Awal

Umumnya aktivitas adat yang paling penting dalam adat NIAS adalah perkawinan.,selain dari peristiwa kematian.Pada masa dahulu, perkawinan di NIAS telah ditentukan dari sejak anak kecil ( ditunangkan ). Tidak diperlukan persetujuan dari anak gadisnya, bahkan setelah ia dipertunangkan sampai hari perkawinannya, si gadis tidak boleh sama sekali menampakkan diri kepada tunangannya dan kaum kerabatnya, tradisi ini masih berlaku sampai sekarang di pedesaan NIAS.

Perkawinan di NIAS umumnya dilakukan dalam system mengambil isteri diluar clan/fam ( marga-nya = System exogam ) Di Nias berlaku adat eksogami mado dalam batas batas tertentu.Artinya; seseorang boleh kawin dengan orang se-madonya( semarganya ) asalkan ikatan kekerabatan leluhurnya sudah mencapai 10 angkatan keatas ( 10 generasi ). Proses perkawinan di NIAS berjalan menurut peradatan daerah wilayah hukum adat ( fondrako ) masing masing negeri ( Banua ) yang dipimpin oleh seorang Salawa/Sanuhe

Bagi masyarakat Suku NIAS, Perkawinan adalah kehidupan yang harus diteruskan diatas bumi ini.Perempuan dianggap sebagai sumber kehidupan. Mengawini perempuan di NIAS disebut juga : MANGAI TANOMO NIHA ( mengambil benih manusia ) yang terdapat pada pihak perempuan : disebut dengan istilah UWU/Sibaya atau Ulu ( artinya = paman /saudara ibu ). Perempuan dilambangkan sebagai hulu (kehidupan ) dan laki laki disimbolkan sebagai hilir(kematian ).Untuk memiliki kehidupan,lelaki harus melawan arus sungai (manoso ) disebut Soroi Tou,menuju hulu ( pihakj perempuan) yang berada diatas (ngofi) tepian sungai kehidupan itu.

Gambaran melawan arus inilah yang merupakan symbol tradisi jujuran yang harus dibayar oleh fihak lelaki.Jujuran ( bowo ) berarti budi baik.Besarnya jujuran ( bowo ) yang dilaksanakan oleh lelaki, menjadi ukuran prestise/harga diri dan kedudukan kasta pihak lelaki tersebut dalam lingkungan masyarakat adat sukunya. Hal ini tergambar dalam riwayat sejarah mitos NIAS tentang manusia, yaitu :


Manusia Pertama Ditempatkan dihulu Sungai Zea

Sihai menempatkan manusia pertama tadi (Tuha Sangehangehao, Tuha Sangaewangaewa) di hulu Sungai Zea di langit pertama (Teteholi Ana’a). Sihai menyerahkan kepadanya “yang sembilan jenis, yang sembilan bidang” (si siwa motöi, si siwa göla). Ia menyerahkan kepadanya seluruh muka bumi (Teteholi Ana’a) beserta segala isinya (lumut, sulur, rumput, kayu hutan, ikan di laut, burung-burung di angkasa, dsb.). Manusia inilah wakil diri Sihai, yang menjadi tuan seluruh alam.


Penciptaan Perempuan

Kalau dalam Kitab Suci Kristen, Hawa (Eva) diambil dari tulang rusuk Adam (manusia pertama), maka dalam Hoho “Fomböi Böröta Niha” ini, perempuan diciptakan dari bahan yang hampir sama dengan bahan penciptaan laki-laki: kelopak putik yang jatuh dari pohon Tora’a. Prosesnya pun hampir sama: pohon Tora’a bermayang dan berputik (tetapi tidak disebutkan apakah di bagian pucuk seperti pada penciptaan laki-laki).
Sihai mengambil kelopak putik yang jatuh di pangkal banir pohon Tora’a tersebut dan menjadikannya perempuan. Namanya: Buruti Sangazöngazökhi, Buruti So’ungoi Ngaoma. Hoho ini tidak menceritakan proses yang lebih rinci seperti pada penciptaan laki-laki (peran Baliu dan Laelu tidak disinggung sama sekali).


Sihai memberikan Perempuan kepada Laki-laki

Perempuan yang diciptakan tadi diberikan Sihai kepada ciptaan pertama (sia’a womböi) - Tuha Sangehangehao, Tuha Sangaewangaewa. Perempuan menjadi teman dalam segala hal: teman untuk memikul beban (berbagai masalah), teman berdiskusi (samatohu fangerangera), Melihat pasangannya, Tuha Sangehangehao bergembira, sangat senang, senyum tersungging di bibirnya. Sebagai bukti cintanya, Tuha memanggil Buruti sebagai “si jantung hati”, Ia menyambutnya dengan kedua tangannya. Buruti menjadi isteri “belahan diri” Tuha. Mereka makan dari “piring” yang sama, sirih yang satu mereka bagi dua. Ketika berjalan, langkah mereka serentak, ketika bekerja mereka saling mengajak.


Suasana Kebersamaan Tuha Sangehangehao dan Buruti Sangazöngazökhi

Hoho ini melukiskan dengan sangat indah, suasana pertemuan dan kebersamaan (hubungan) Tuha Sangehangehao dengan Buruti Sangazöngazökhi. Melihat keinitiman, kemesraan atau ke-ideal-an hubungan kedua insan ini, ciptaan lain pun memberikan “kesaksian” dengan cara masing-masing: burung punai cemburu, burung enggang iri hati, udang putih menari-nari ikut ceria dan bahagia, anak kancil “mengambil hati”, anak celeng terkagum.


Sihai Gembira dan memberkati mereka

Melihat segala kebaikan dalam pasangan ciptaannya, Sihai sangat senang. Ia memberkati mereka, melipatgandakan harta kekayaan mereka: hasil ladang melimpah, ternak tak muat di kandang saking banyaknya. Sihai juga menambah-nambah kearifan dan akal budi mereka sehingga mereka tak pernah bertengkar, selalu damai. Mereka beranak cucu, “puteri dan putera”.
Dalam perkawinan adat NIAS,beratnya bowo ( jujuran ) , juga ditambah dengan :
1. Sumange : yaitu penghormatan pengantin pria terhadap ayah/ibu mertua + anak lelaki pertama ( saudara si gadis )
2. Zamolaya : Jamuan makan ( penghormatan ) pada pihak saudara laki ibu mertua dan saudara laki bapak mertua.

Secara umum tata urutan perkawinan adat NIAS dapat disebut sebagai berikut :























Senin, 05 Juli 2010

Kushina

                 Kushina Uzumaki adalah tokoh serial komik naruto yang bertindak sebagai Ibu Naruto dan sekaligus merupakan Jinchuriki kedua, ia dikarakterkan keras kepala dan sedikit tomboy, mirip dengan sikap Naruto. Diceritakan bahwa pertama kali ia berjumpa dengan Minato ayah Naruto ia menyangka ayah Naruto pria yang feminim tetapi ternyata dia salah. Sama seperti Naruto ia juga pernah bercita-cita menjadi Hokage wanita pertama.
Karena mudahnya ia marah ia pernah mendapat gelar Habanero berdarah, yang sebelumya ia dijuluki kepala tomat atau sirambut merah.
                Kushina merupakan satu-satunya orang yang terselamatkan dari Klannya yaitu Klan Uzumaki dari Desa Pusaran air (Uzushiogakure) atau desa berumur panjang karena orang-orangnya memiliki umur yang panjang dan desa ini bersahabat erat dan bahkan memiliki ikatan darah dengan desa Konoha khususnya Klan Senju , bahkan untuk penghormatan terhadap klannnya, desa Konoha menggunakan lambang klan tersebut yaitu lambang di belakang baju Naruto sebagai salah satu lambang Ninja Konoha dan ia memiliki chakra yang sangat istemewa, yang akibatnya ia pernah diculik oleh desa Kumogakure karena ingin memiliki chakra itu, tapi ia diselamatkan oleh ayah Naruto (Minato) yang mengakibatkan awal hubungan cinta mereka. Chakra spesial ini berbentuk rantai pengikat yang mampu menahan kekkuatan kyuubi, dan dengan bantuan chakra ini pulalah ayah Naruto mampu menyegel Kyuubi.
               Berbicara mengenai Kushina sebagai Jinchuriki, ini dimulai dari kemampuan spesialnya menggunakan teknik penyegel yang luar biasa yaitu SEGEL 4 ELEMEN, dan akhirnya dikembangkan oleh ayah Naruto. Guru Kushina juga merupakan Jinchuriki yang pertama dan sekaligus Istri dari Hokage Pertama bernama Uzumaki Mito, dan gurunyalah yang pertama kali menyegel Kyubi dalam tubuhnya sendiri. Saat Uzumaki Mito hampir meninggal akhirnya dipilhlah Kushina sebagai Jinchuriki selanjutnya dan yang mengetahuinya hanya 3 orang termasuk Hokage ketiga, dan ini dilakukan karena ia memiliki chakra yang istimewa.
                    Mengenai kisah kelahiran Naruto, disinilah titik lemahnya segel Kyubi yaitu pada saat Proses lahirnya Naruto, hal ini sudah diketahui para tetua Konoha, bahkan Hokage ketiga sendiri yang memimpin penjagaan kelahiran Naruto disebuah gua yang jauh dari Konoha, tetapi terjadi hal yang tidak diinginkan yaitu seorang Pria bertopeng yang masih diperkirakan merupakan Tobi, atau Madara tahu akan hal ini dan menyerang ketempat gua kelahiran Naruto, yang akibatnya keluarnya Kyuubi dari segel Kushina yang akhirnya mengorbankan Ayah sekaligus Ibu Naruto, 
         Yang mengherankan adalah Siapa Sebenarnya Pria bertopeng yang menyerang kegua kelahiran Naruto tersebut? dan mengapa pada saat menaklukkan Kyuubi Naruto memperoleh Jurus Pertapa Rikudo? apakah ini ada hubungannya dengan asal-usul Kushina sebagai Ibu Naruto?

Sabtu, 03 Juli 2010

Uchiha Madara (Tobi (Madara), Obito, Mizukage 4)




Uhiha Madara
Beliau adalah orang yang mengarah kyubbi menyerang konoha Tetapi, dia dikenali oleh Kyubi yang mengatakan bahawa chakra Uchiha Madara lebih 'terkutuk' daripada chakra miliknya dan kini, Sasuke juga memiliki chakra sedemikian. Uchiha madara juga ketua akatsuki, dan menggunakan PAIN (nagato) untuk menjadi ketua akatsuki sementara dia berpura-pura menjadi anggota akatsuki ,selain itu Uchiha madara juga memiliki kekuatan sharingan yang sebenarnya (lebih kuat dr mangekyou sharingan), disebabkan dia adalah pendiri klan uchiha. ٍSharingan madara adalah yang paling kuat kerana dia telah membunuh adiknya untuk menggabungkan mangekyo sharingan miliknya dengan adiknya. Hasilnya beliau berjaya mendapat sharingan yang paling berkuasa. Beliau besama hokage pertama yaitu ketua klan senju bersama mendirikan konoha tetapi tewas ddalam pertarungan untuk jabatan hokage pertama. Diketahui bahwa ia pernah menyuruh PAIN (Teman Pain) Pain tak pernah kalah dalam setiap pertarungan. Sepertinya uchiha madara keluar, menjadi salah satu anggota akatsuki dengan nama tobi(dia mengaku-aku bahwa dia adalah uchiha madara di depan PAIN pada chapter 370an, memang mukanya mirip Obito, karna itu ada yang menyangka bahwa dia itu Obito, kemungkinan benar kerana obito mungkin sudah mati lalu diberikan jiwa uchiha madara)Ini kerana tobi hanya mempunyai 1 mata sharingan dipercayai sebelah , selama dia menjadi anggota akatsuki, dia selalu pergi menyelidiki kekuatan sasuke dan berharap bahwa sasuke membunuh lagi adalah yang digunakan oleh kakashi itachi dan bergabung dengan akatsuki. Satu hal lagi pada peristiwa lahirnya naruto diperikirakan Madara adalah dalang kematian ayah dan ibu naruto yang berusaha membangkitkan Kyubi dalam diri Kushina ibu naruto, dimana saat proses kelahiran naruto madara menyerang kegua tempat lahirnya naruto, yang menjadi pertanyaan apakah pria bertopeng tersebut adalah, Madara yang asli, ataukah Madara yang menggunakan jasad Obito, atau justru Mizukage 4, seperti yang diungkapakan oleh Kisame pada Komik naruto chapter 404. (gambar mizukageNaruto chapter 458)
   
      Selanjutnya pada Serial Komik Naruto Episode 506 Terlihat ketika Kisame diselidiki pikirannya terlihat bahwa sebenarnya Mizukage dikendalikan oleh Madara, apakah ini sudah dapat membuktikan bahwa Tobi adalah Madara ??