a. Menghapal
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan hadis sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasulullah SAW menggunakan jalan yang berbeda. Terhadap Al-Qur’an beliau menginstruksikan kepada sahabatnya supaya menulis dan menghapalnya. Sedangkan terhadap Hadis, beliau menyuruh mereka menghapal dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini, beliau bersabda :
Artinya:
“Apa saja yang kalian tulis apa saja dariku selain Al-Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja yang diterima dariku. Barang siapa yang berusta atas aku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan Abu Said Al-Khuzri)
Maka para sahabat berusaha menghapal hadis yang diterima dari Rasulullah SAW dengan sungguh-sungguh. Mereka sangat takut dengan acaman Rasulullah SAW sehingga berusaha agar tidak melakukan kekeliruan terhadap apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghapal hadis ini, yaitu:
1. Kegiatan menghapal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisi sejak masa pra Islam dan mereka terkenal kuat hapalannya
2. Rasulullah SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya.
3. Seringkali beliau menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghapal hadis dan menyampaikan kepada oarang lain.
b. Menulis hadis
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW untuk menulis hadis seperti disebutkan dalam hadis Abu Said Al-Khuzri di atas, ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis. Di antara mereka adalah :
1. Abdullah bin Amr bin Al-As. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dinamkan AS-Sahihah AS-Sadiqah. Menurut suatu riwayat diceritaan bahwa orang quraisy mengeritik sikap Abdullah bin Amr yang selalu menulis apa yang datang dari Rasulluh SAW. Mereka berkata, “Engkau menuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini di sampaikan-nya kepada Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
“Tulislah!demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya tidak ada yang keluar darinya, kecuali yang benar”. (HR. Bukhari)
Hadis hadis yang terhimpun dalam catatannya berkisar sekitar seribu hadis yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah SAW yaitu ketika ia berada di sisi beliau SAW tanpa ada orang lain yang menerimanya.
2. Jabir bin Abdillah bin Amr Al-Anshari. Ia memiliki catatan hadis dari Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadis hadisnya kemudian diriwatkan oleh Muslim. Catatan ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
3. Abu Harairah Ad-Dausi. Ia memiliki catatan Hadis yang dikenal dengan As-Sahifah As-Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada putranya yang bernama Hamman.
4. Abu Syah (Umar bin Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasulullah SAW agar dicatakan hadis yang disampaikan beliau ketika pidato pada peristiwa Futuh Mekah (penaklukan kota Mekah) sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Lais. Rasulullah SAW kemudia bersabda;
Artinya :
“Kalian tuliskan untuk Abu Syah”
Disamping nama nama diatas, masih banyak lagi nama sahabat lainnya yang memiliki catatan hadis dan dibenarkan Rasulullah SAW, seperti Rafi’I bin Khadij Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud
c. Para ulama Mentaufiqkan Dua Kelompok Hadis yang kelihatannya Kontradiksi
Ketika melihat adanya kontradiksi pada dua buah hadis seperti pada hadis dari Abu Sa’id Al-Huzni dan hadisdari Abdullah bin Amr bi Al-As, yang masing-masing didukung oleh hadis hadis lainnya, para ulam terdorong untuk menemukan penyelesaiannya. Di antara mereka, ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berusaha mentaufiqkan atau mengompromikannya sehingga keduanya tetep digunakan (ma’mul).
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqani, larangan Rasulullah SAW untuk menuliskan hadits adalah khusus ketika Al-Qur’an turun. Ini karena ada kekhawatiran tercampurnya antara ayat Al-Qur’an dan hadis. Larang itu dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan Al-Qur’an dan hadis dalam satu suhuf. Ini artinya bahwa ketika Al-Qur’an tidak turun dan tidak dituliskan pada suhuf, mka dibolehkan untuk mencatat wahyu. An-Nawawi dan As-Suyuti memandang bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hapalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang khawatir lupa atau kurang kuat hapalannya, dibolehkan mencatatnya.
Jika diambil kesimpulan dari pendapat para ulama dalam soal ini, maka akan ditemukan empat qaul, seperti dibawah ini.
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa hadis dari Abu Sa’id Al-Khudzri bernilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan Hujjah. Sebaliknya, menurut Ajjaj Alh-khatib, pendapat ini tidak bisa diterima karena hadis Abu Sa’id Al-Khudzri dan hadis-hadisnya yang semakna dengannya sahih.
Kedua, para ulama lainnya menyebutkan bahwa larangan menulis hadis ini terjadi pada periode awal Islam karena adanya keterbatasan yang ada. Maka pada saat umat Islam semakin bertambah dan tenaga untuk menulis telah memungkinkan, maka penulisan hadis menjadi dibolehkan. Menurut kelompok ini, hukum tentang larangan menuliskan hadis berubah menjadi mubah. Pada sisi lainnya mereka pun memandang kemungkinan larangan penulisan hadis jika disatukan pada satu suhuf dengan Al-Qur’an.
Ketiga, ada ulama yang memandang bahwa larangan tersebut pada dasarnya ditujukan bagi orang yang kuat hapalannya. Hal ini untuk membiasakan diri melatih kekuatan hapalannya, dengan menghilangkan ketergantungan pada penulisannya. Dengan demikian izin penulisan kepada orang-orang yang lemah hapalannya, seperti Abu Syah atau Khawatir lupa, seperti Abdullah bin Amr bin Al-As, tidak dilarang.
Keempat, ada juga yang memandang bahwa larangan tersebut dalam bentuk umum yang sasarannya masyarakat banyak. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca yang menjamin tidak terjadinya kekeliruan dalam menulisnya, larangan itu tidak berlaku lagi.