Alif
Oleh : Jufri Bulian Ababil
Alif. Aku berdiri tegak sepertimu, seperti gelombang sinar Alpha. Engkau diciptakan menjadi simbol karena kejinakanmu. Kau lambang kelurusan hati dan kepastian sikap. Cintaku pada Tuhanku berkata, engkau adalah lambang kebersatuan. Allah memuliakanmu dengan meletakkanmu pada huruf pertama dalam surat kedua, al-Baqarah pada pesan-pesan sucinya di al-Qur'an. Engkau dibaca dalam satu ayat bersama teman setiamu, Lam dan Mim.
Orang sering berkata, tidak ada yang tahu tentangmu selain hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Tapi mohon maafku wahai Alif, terus terang, aku meragukan pernyataan itu. Sebab, Allah yang Maha Pemberi Ilmu yang mengajarkan al-Qur'an dengan bahasa yang jelas tidak mungkin membodohi manusia dengan membuatmu jadi misteri. Mustahil itu.
Wahai Alif, berhentilah menangis. Aku turut prihatin atas prasangka orang-orang terhadapmu. Kuharap jangan pula engkau bersedih dengan kata-kataku ini. Bilang pula pada teman-teman seperjalananmu Lam dan Mim, juga huruf-huruf yang sedang dan akan kuperbincangkan dalam kalam-kalamku nantinya, bahwa kalian adalah bangsa yang perkasa, bangsa yang lebih kuat dari tentara penakluk terkuat dari bangsa manusia. Engkau mampu berbaris dengan barisan yang rapi dalam kelipatan 19 personel untuk per satuan kompi di saat engkau sudah diletakkan di baris terdepan dalam potongan surat. Aku salut. Aku suka gaya berbaris seperti ini, dan aku menyebutnya pasukan bismillah, karena dalam surah al-Baqarah jumlah seluruh huruf alif sepertimu sama bila dibagi jumlahnya akan dengan semua huruf dalam basmalah.
Alif, kumohon, tetaplah engkau di barisanmu, walau pun engkau selalu diabaikan dan tidak menjadi pusat perhatian orang-orang yang mengaku ulama. Aku sangat mengkhawtirkanmu. Jangan sampai engkau merajuk diri sehingga hancurlah kata. Engkau tentu dapat bayangkan bila telah terjadi kehancuran kata, maka tidak akan ada lagi kalam atau kalimat, apalagi makna. Bila tak ada lagi makna maka orang-orang akan bersitegang urat leher, berdebat, saling hujat dan berselisih paham. Jangan biarkan hal itu terjadi, karena aku takut akan dapat berekses pada terjadinya kebodohan besar-besaran pada bangsa manusia. Engkau tentu tahu, kebodohan itu sumber malapetaka dan siksa. Sebagai bangsa manusia, aku mohon jangan engkau bergeser dari tempat berdirimu oh Alif.
Alif, masih ingatkah dikau 25 tahun yang lalu? Engkau bersama temanmu Lam dan Mim adalah teman-temanku di masa kecilku. Aku masih ingat ketika pertama kali aku belajar mengaji dengan almarhum Tok Baharuddin semoga Allah merahmatinya. Senang sekali rasa hatiku di hari pertama belajar mengaji. Di saat-saat sunyi seperti ini aku pun terkenang lagi padamu. Di saat aku kehausan akan pengetahuan, aku diperkenalkan Atok Baruddin denganmu. Lantas kita pun berkenalan. Lidahku menyebutmu berulang-ulang agar aku tak lupa namamu. Girangnya rasa hatiku bisa mengenalmu dan menyebutmu di hadapan guru mengajiku. Saat namamu kusebut, guruku tersenyum. Hatiku semakin senang, berarti engkau huruf yang baik sehingga guruku juga senang mendengar namamu.
Aku juga masih ingat, Alif, setelah kita berkenalan di malam itu, seusai pulang mengaji, sesampainya di rumah, setelah memberi salam, aku seperti tak sabar ingin berbagi cerita dengan ayah ibuku tentangmu. Ayahku senang, ibuku juga senang kita bisa berkenalan. Dan sejak dulu juga telah kukatakan padamu, engkau cinta pertamaku. Cintaku pada ilmu. Cintaku pada kalam. Cintaku pada keindahan berbahasa. Di mana ada tulisan yang bisa terbaca, aku sering teringat akan dirimu.
Oh Alif, kuharap engkau dapat sedikit bersabar atas ketidakjelasan maknamu bagi manusia yang mengaku sudah bisa membaca. Sebenarnya aku tahu bahwa mereka hanya sengaja melupakanmu sebagai bagian yang utuh dari al-Qur'an, padahal mereka sudah sangat mahir membaca dan menganalisa bahkan menafsirkan yang tinggi-tinggi. Mereka lupa engkaulah penyusun kata. Kata atau lafazh yang engkau susun menjadi kalam, kalam kemudian engkau susun menjadi ayat. Ayat-ayat yang menjadi juz-juz penyusun al-Qur'an. Aku tak mengerti mengapa manusia selalu menganggap remeh dengan huruf sepertimu, sehingga engkau sering tidak dianggap, diacuhkan, dan seolah tak perlu untuk dicarikan maknanya.
Maafkan mereka Alif. Aku atas nama manusia mohon maaf kepadamu mewakili bangsamu huruf-huruf Hijaiyah. Sampaikan salamku pada semuanya, katakan bahwa aku tidak menginginkan ini terjadi. Kuharap engkau dapat memaklumi, terkadang banyak manusia yang tidak memanusiakan dirinya suka merendahkan hal-hal kecil seperti dirimu. Padahal, dengan mengenalmulah aku mengenal Tuhanku dan tuhan mereka. Sadarilah, betapa hebatnya engkau.
Saat ini kutegaskan, sudah sepatutnya engkau bangga sebagai sebuah huruf. Engkau dan bangsamu telah jauh mendahului majunya peradaban manusia. Bayangkan, engkau sudah ada di peradaban manusia Tunisia, Mesir Kuno bahkan peradaban yang lebih tua dari itu. Engkau telah mengalami berbagai bentuk modifikasi dan penyesuaian di berbagai tempat tujuanmu berkelana, sampai akhirnya engkau sampai di desaku, dan engkau tanpa sedikitpun menyombongkan diri, sudi menerimaku sebagai teman.
Alif, aku mohon bantuanmu. Bantu aku dengan menghimbau bangsamu agar dapat lebih lentur saat menempel di lidah bangsaku, agar mereka dapat lebih mudah saling memahami dan saling mengerti sesamanya, agar terbangun budi bahasa yang menjadi cermin bagi mereka sebagai bangsa beradab, bahkan bila perlu berperadaban tinggi, peradaban cinta dan ilmu. Terima kasih Alif. Engkau kucintai karena Allah memerintahkanku menuntut ilmu. Aku mencintaimu disebabkan cintanya aku akan ilmu.
Jufri Bulian Ababil
Madin, 28 Muharram 1430/ 25 Januari 2010