Di era kapitalisme ini, tampaknya kejujuran semakin menjadi
barang langka. Utopis, alias hanya menjadi impian semata. Orang yang jujur, tak
lagi mujur, melainkan kojur atau ajur (celaka atau hancur).
Lihatlah saja di instansi-instansi pemerintahan, orang-orang yang jujur,
berhati-hati dan senantiasa memilah-milih uang yang diterimanya apakah halal
atau nggak, malah bernasib nggak enak. Dijauhi teman, dianggap terlalu saklek
atau idealis, bahkan ada yang sampai dimutasi ke bagian yang nggak menyenangkan
atau ke pelosok yang terpencil. Begitupun yang terjadi di sekolah/kampus,
pelajar/mahasiswa jujur yang nggak ingin nyontek, ngepek, atau
bekerja sama dengan teman saat ujian akan dianggap cupu dan nggak disukai.
Bahkan ada yang, saking jujurnya dalam ujian, sampai nggak lulus (mungkin yang bersangkutan
kurang belajarnya, wallahu a’lam).
Mungkin, pepatah yang paling relevan dengan kejujuran adalah
sabda Nabi, “Katakanlah yang benar, meskipun pahit.” (HR Al
Baihaqi). Pahit di sini, tentu bukan pahit bagi pendengarnya, melainkan bagi
pengucapnya. Karena jika kepahitan itu terasa bagi pendengarnya, sabda Nabi
akan berbunyi, “Dengarlah yang benar, meskipun pahit.”
Satu kisah yang saya baca dari Dalam Dekapan Ukhuwah-nya
Salim A. Fillah. Adalah Muhammad bin Sirin, ‘ulama besar murid Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu. Suatu hari, beliau yang berprofesi sebagai pedagang minyak mendapati
bangkai tikus dalam minyak yang dibelinya dengan berhutang pada seorang
tengkulak. Memang, bangkai tikus hanya ditemukan dalam satu kaleng dari empat
puluh kaleng minyak yang ada. Namun Ibnu Sirin sudah merasa sangat berdosa jika
tetap menjual ketiga puluh sembilan kaleng minyak pada kaum muslimin. Beliau
khawatir karena seluruh minyak dalam kaleng itu berasal dari tempat penyulingan
yang sama, sehingga satu bangkai pada satu kaleng minyak ditakutkan akan
mencemari keseluruhan minyak. Akhirnya beliau membuang semua minyak itu,
mengatakan yang benar pada calon pembeli dan tengkulak, tak peduli dengan
segala konsekuensinya, yakni menanggung rugi sekaligus dipenjara karena tidak
mampu melunasi hutangnya pada tengkulak.
Sungguh kisah nyata yang semakin menambah kepahitan hidup
seorang yang jujur dan berkata benar. Contoh-contoh di atas tentang kejujuran,
sudah membuktikan, betapa sulit hidup seorang yang jujur. Namun, seperti halnya
dunia adalah “neraka”
bagi orang-orang beriman, sementara ia adalah “surga” bagi para pembangkang,
kita tetap saja harus menerapkan kejujuran kapanpun, di manapun dan
bersama siapapun. Jangan pernah tergiur untuk berdusta, meskipun ia sangat
menggiurkan dan bisa menyelamatkan kita dari kesengsaraan. Ingatlah selalu,
bahwa “kesengsaraan” yang kita kecap di dunia, akan berbuah manis di kehidupan
nyata kita nanti, akhirat.
Berusahalah untuk menjunjung tinggi kejujuran, baik kepada
Allah maupun kepada orang lain. Bayangkan, bohong sama orang lain aja dosanya
sudah besar, apalagi berbohong pada Allah. Jujurlah dalam setiap raka’at shalat
yang kita lakukan, apakah shalat Dhuhur kita sudah benar empat raka’at, atau
masih tiga raka’at. Karena seburuk-buruk pencuri adalah “pencuri” shalat. Lalu,
jangan pula kita berpura-pura merasa tidak batal saat sebenarnya kita telah
batal shalat, misalnya kita (maaf) buang angin saat shalat. Allah nggak akan
bisa dibohongi, teman-teman.
Mungkin selama ini kita berfikir, “Ah, orang ini juga nggak
bakal tahu kalau aku bohongin.” Tapi Allah Maha Tahu. Setiap kebohongan tetap
dicatat sebagai satu perbuatan dosa. Allah hanya mengizinkan hamba-Nya untuk
berbohong dalam 3 hal, yakni:
1.
Pembicaraan antara suami istri untuk keharmonisan rumah tangga
Misalnya: seorang suami memuji masakan istrinya yang
sebenarnya tidak enak, tetapi demi tidak mengecewakan hati istri, suami
terpaksa berbohong dan mengatakan masakan itu enak. Tetapi tetap nggak boleh
lho, berlagak jadi suami setia padahal dia berselingkuh di belakang istrinya!
2.
Kebohongan untuk mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih
Misalnya: Rina sedang bertengkar dengan saudaranya, Rini,
karena suatu hal, kemudian Sinta ingin menjadi pendamai di antara mereka
berdua. Sinta boleh membohongi Rina dengan mengatakan Rini ingin berbaikan
dengannya, demikian sebaliknya dia katakan pula pada Rini bahwa Rina ingin
berbaikan dengannya. Kebohongan ini bertujuan agar Rina dan Rini kembali akrab
seperti semula.
3.
Kebohongan dalam peperangan melawan musuh
Kita saja dilarang memberitahukan strategi atau rahasia
perang kita pada musuh, makanya itu membohongi musuh amat sangat dianjurkan
bahkan diwajibkan.
Berkata benar atau jujur, walaupun berat, memiliki banyak
manfaat. Tidak inginkah kita meniru Rasulullah Al Amin yang bahkan sebelum
diangkat menjadi Nabi dan Rasul pun sudah dikenal sebagai manusia yang paling
terpercaya? Karena lisan beliau tak pernah sekalipun mengucapkan dusta. Bahkan
candanya pun sebuah kebenaran. Alkisah ada seorang nenek menanyakan, “Ya
Rasulallah, apakah aku akan masuk surga?” Baginda Rasul menjawab, “Di surga
tidak ada nenek-nenek, Nek.” Nenek itu pun kecewa dan menangis yang kemudian
dihibur oleh Rasul, “Memang di surga tidak ada nenek-nenek karena semua manusia
yang masuk surga akan kembali menjadi muda.” Nenek itu pun tersenyum senang.
Selain dipercaya oleh orang lain, orang yang jujur juga
selalu diliputi ketenangan dalam hidupnya. Tidak seperti para pendusta yang
kerap menutup satu kebohongan dengan kebohongan lain. Ya, dusta adalah candu
menyakitkan yang membuka pintu-pintu keburukan yang lebih besar. Bayangkan saja
hidup seorang pejabat korup, yang selalu waswas kalau-kalau KPK mendatangi
rumah atau kantornya. Atau siswa yang nggak tenang sepanjang ujian karena menyembunyikan
catatan di laci mejanya.
Jujur, membuat nama pelakunya menjadi harum, meskipun dirinya
telah tiada. Kejujuran yang kini semakin langka juga membuat banyak pihak
bersimpati terhadap para pelakunya. Masih ingat kisah Ibu Siyami dan putranya
bukan? Sepasang ibu-anak pengungkap kasus ketidakjujuran di sekolah yang malah
dicibir dan mendapat pengucilan dari orang-orang di sekitarnya, tetapi kemudian
memancing dukungan yang jauh lebih besar dibandingkan cibiran untuk mereka.
Namun
yang jelas, niatkanlah jujur untuk mendapatkan pahala dan keridhaan Allah,
bukan untuk mendapatkan penghargaan sebagai orang yang jujur dari sesama
manusia. Termasuk jujur pula jika apa yang kita ucapkan atau tuliskan sama
dengan apa yang kita lakukan. Tidak seperti orang munafik yang antara perkataan
dan perbuatan seringkali tidak sesuai. Jujur dalam segala hal – kecuali untuk
hal-hal yang diperbolehkan berdusta – meskipun sulit, akan mengantar pelakunya
kepada kebaikan yang berlipat-lipat.
“Berperangailah selalu dengan kejujuran. Bila engkau
melihatnya (jujur) itu mencelakaakan maka pada hakikatnya ia merupakan
keselamatan.” (HR Ibnu Abi Ad Dunya dari riwayat Manshur bin Mu’tamir)
Pendapat
diatas, bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh,
sehingga setiap Hadis dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/diperankan oleh
manusia agung itu dalam kedudukan beliau sebagai : Rasul, dan karena itu pasti
benar, sebab bersumber dari Allah swt.
Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal
ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material
adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang
bersengketa dalam menutupi kebenaran, sementara disisi lain keputusan ini hanya
berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. Pemimpin suatu masyarakat, yang
menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya dengan kondisi dan budaya
masyarakat yang beliau temui. Dalam hal ini bimbingan dan sikap beliau pasti
benar dan sesuai dengan masyarakat. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka
dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingnitu
sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat.
Orang jujur akan mendapat pertolongan dari Allah
SWT. Salah satu contoh kejujuran adalah dalam hal perniagaan. Orang yang
meminjam barang atau uang untuk dijadikan modal dalam suatu perniagaan dan
secara jujur ia ingin mengembalikan modal tersebut, Allah SWT pasti akan
membantunya. Sebaliknya, apabila ia berniat jahat dan tidak mau
mengembalikannya, Allah SWT akan merusak harta dan kehidupannya didunia, serta
memberinya azab kelak diakhirat
Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini