Sabtu, 13 Juli 2013

Kontekstual Hadits



Di era kapitalisme ini, tampaknya kejujuran semakin menjadi barang langka. Utopis, alias hanya menjadi impian semata. Orang yang jujur, tak lagi mujur, melainkan kojur atau ajur (celaka atau hancur). Lihatlah saja di instansi-instansi pemerintahan, orang-orang yang jujur, berhati-hati dan senantiasa memilah-milih uang yang diterimanya apakah halal atau nggak, malah bernasib nggak enak. Dijauhi teman, dianggap terlalu saklek atau idealis, bahkan ada yang sampai dimutasi ke bagian yang nggak menyenangkan atau ke pelosok yang terpencil. Begitupun yang terjadi di sekolah/kampus, pelajar/mahasiswa jujur yang nggak ingin nyontek,  ngepek, atau bekerja sama dengan teman saat ujian akan dianggap cupu dan nggak disukai. Bahkan ada yang, saking jujurnya dalam ujian, sampai nggak lulus (mungkin yang bersangkutan kurang belajarnya, wallahu a’lam).
Mungkin, pepatah yang paling relevan dengan kejujuran adalah sabda Nabi, “Katakanlah yang benar, meskipun pahit.” (HR Al Baihaqi). Pahit di sini, tentu bukan pahit bagi pendengarnya, melainkan bagi pengucapnya. Karena jika kepahitan itu terasa bagi pendengarnya, sabda Nabi akan berbunyi, “Dengarlah yang benar, meskipun pahit.”
Satu kisah yang saya baca dari Dalam Dekapan Ukhuwah-nya Salim A. Fillah. Adalah Muhammad bin Sirin, ‘ulama besar murid Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari, beliau yang berprofesi sebagai pedagang minyak mendapati bangkai tikus dalam minyak yang dibelinya dengan berhutang pada seorang tengkulak. Memang, bangkai tikus hanya ditemukan dalam satu kaleng dari empat puluh kaleng minyak yang ada. Namun Ibnu Sirin sudah merasa sangat berdosa jika tetap menjual ketiga puluh sembilan kaleng minyak pada kaum muslimin. Beliau khawatir karena seluruh minyak dalam kaleng itu berasal dari tempat penyulingan yang sama, sehingga satu bangkai pada satu kaleng minyak ditakutkan akan mencemari keseluruhan minyak. Akhirnya beliau membuang semua minyak itu, mengatakan yang benar pada calon pembeli dan tengkulak, tak peduli dengan segala konsekuensinya, yakni menanggung rugi sekaligus dipenjara karena tidak mampu melunasi hutangnya pada tengkulak.
Sungguh kisah nyata yang semakin menambah kepahitan hidup seorang yang jujur dan berkata benar. Contoh-contoh di atas tentang kejujuran, sudah membuktikan, betapa sulit hidup seorang yang jujur. Namun, seperti halnya dunia adalah “neraka” bagi orang-orang beriman, sementara ia adalah “surga” bagi para pembangkang,  kita tetap saja harus menerapkan kejujuran kapanpun, di manapun dan bersama siapapun. Jangan pernah tergiur untuk berdusta, meskipun ia sangat menggiurkan dan bisa menyelamatkan kita dari kesengsaraan. Ingatlah selalu, bahwa “kesengsaraan” yang kita kecap di dunia, akan berbuah manis di kehidupan nyata kita nanti, akhirat.
Berusahalah untuk menjunjung tinggi kejujuran, baik kepada Allah maupun kepada orang lain. Bayangkan, bohong sama orang lain aja dosanya sudah besar, apalagi berbohong pada Allah. Jujurlah dalam setiap raka’at shalat yang kita lakukan, apakah shalat Dhuhur kita sudah benar empat raka’at, atau masih tiga raka’at. Karena seburuk-buruk pencuri adalah “pencuri” shalat. Lalu, jangan pula kita berpura-pura merasa tidak batal saat sebenarnya kita telah batal shalat, misalnya kita (maaf) buang angin saat shalat. Allah nggak akan bisa dibohongi, teman-teman.
Mungkin selama ini kita berfikir, “Ah, orang ini juga nggak bakal tahu kalau aku bohongin.” Tapi Allah Maha Tahu. Setiap kebohongan tetap dicatat sebagai satu perbuatan dosa. Allah hanya mengizinkan hamba-Nya untuk berbohong dalam 3 hal, yakni:
1. Pembicaraan antara suami istri untuk keharmonisan rumah tangga
Misalnya: seorang suami memuji masakan istrinya yang sebenarnya tidak enak, tetapi demi tidak mengecewakan hati istri, suami terpaksa berbohong dan mengatakan masakan itu enak. Tetapi tetap nggak boleh lho, berlagak jadi suami setia padahal dia berselingkuh di belakang istrinya!
2. Kebohongan untuk mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih
Misalnya: Rina sedang bertengkar dengan saudaranya, Rini, karena suatu hal, kemudian Sinta ingin menjadi pendamai di antara mereka berdua. Sinta boleh membohongi Rina dengan mengatakan Rini ingin berbaikan dengannya, demikian sebaliknya dia katakan pula pada Rini bahwa Rina ingin berbaikan dengannya. Kebohongan ini bertujuan agar Rina dan Rini kembali akrab seperti semula.
3. Kebohongan dalam peperangan melawan musuh
Kita saja dilarang memberitahukan strategi atau rahasia perang kita pada musuh, makanya itu membohongi musuh amat sangat dianjurkan bahkan diwajibkan.
Berkata benar atau jujur, walaupun berat, memiliki banyak manfaat. Tidak inginkah kita meniru Rasulullah Al Amin yang bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul pun sudah dikenal sebagai manusia yang paling terpercaya? Karena lisan beliau tak pernah sekalipun mengucapkan dusta. Bahkan candanya pun sebuah kebenaran. Alkisah ada seorang nenek menanyakan, “Ya Rasulallah, apakah aku akan masuk surga?” Baginda Rasul menjawab, “Di surga tidak ada nenek-nenek, Nek.” Nenek itu pun kecewa dan menangis yang kemudian dihibur oleh Rasul, “Memang di surga tidak ada nenek-nenek karena semua manusia yang masuk surga akan kembali menjadi muda.” Nenek itu pun tersenyum senang.
Selain dipercaya oleh orang lain, orang yang jujur juga selalu diliputi ketenangan dalam hidupnya. Tidak seperti para pendusta yang kerap menutup satu kebohongan dengan kebohongan lain. Ya, dusta adalah candu menyakitkan yang membuka pintu-pintu keburukan yang lebih besar. Bayangkan saja hidup seorang pejabat korup, yang selalu waswas kalau-kalau KPK mendatangi rumah atau kantornya. Atau siswa yang nggak tenang sepanjang ujian karena menyembunyikan catatan di laci mejanya.
Jujur, membuat nama pelakunya menjadi harum, meskipun dirinya telah tiada. Kejujuran yang kini semakin langka juga membuat banyak pihak bersimpati terhadap para pelakunya. Masih ingat kisah Ibu Siyami dan putranya bukan? Sepasang ibu-anak pengungkap kasus ketidakjujuran di sekolah yang malah dicibir dan mendapat pengucilan dari orang-orang di sekitarnya, tetapi kemudian memancing dukungan yang jauh lebih besar dibandingkan cibiran untuk mereka.
Namun yang jelas, niatkanlah jujur untuk mendapatkan pahala dan keridhaan Allah, bukan untuk mendapatkan penghargaan sebagai orang yang jujur dari sesama manusia. Termasuk jujur pula jika apa yang kita ucapkan atau tuliskan sama dengan apa yang kita lakukan. Tidak seperti orang munafik yang antara perkataan dan perbuatan seringkali tidak sesuai. Jujur dalam segala hal – kecuali untuk hal-hal yang diperbolehkan berdusta – meskipun sulit, akan mengantar pelakunya kepada kebaikan yang berlipat-lipat.
“Berperangailah selalu dengan kejujuran. Bila engkau melihatnya (jujur) itu mencelakaakan maka pada hakikatnya ia merupakan keselamatan.” (HR Ibnu Abi Ad Dunya dari riwayat Manshur bin Mu’tamir)
Pendapat diatas, bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap Hadis dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/diperankan oleh manusia agung itu dalam kedudukan beliau sebagai : Rasul, dan karena itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah swt.
            Hakim, yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutupi kebenaran, sementara disisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya dengan kondisi dan budaya masyarakat yang beliau temui. Dalam hal ini bimbingan dan sikap beliau pasti benar dan sesuai dengan masyarakat. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingnitu sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat.
           Orang jujur akan mendapat pertolongan dari Allah SWT. Salah satu contoh kejujuran adalah dalam hal perniagaan. Orang yang meminjam barang atau uang untuk dijadikan modal dalam suatu perniagaan dan secara jujur ia ingin mengembalikan modal tersebut, Allah SWT pasti akan membantunya. Sebaliknya, apabila ia berniat jahat dan tidak mau mengembalikannya, Allah SWT akan merusak harta dan kehidupannya didunia, serta memberinya azab kelak diakhirat


Terimakasih atas kunjungannya, semoga berkenan Untuk Iklan dan Donasinya ke Link ini

0 komentar:

Posting Komentar