Hukum Adat Perceraian di Nias: Adilkah?
Suami dapat menceraikan isteriPerceraian sangat tidak menarik dibicarakan, karena setiap keluarga tidak ada yang menghendaki perceraian setelah menikah. Perceraian hanyalah akan menurunkan martabat seseorang yang melakukannya.
Bamböwö Laiya mengatakan bahwa “Perceraian sangat jarang terjadi di Nias, karena selain jujuran yang tinggi yang menyulitkan seseorang untuk kawin kembali, juga karena laki-laki yang menceraikan isterinya dan wanita yang diceraikan suaminya kurang dihargai di dalam desa. Si laki-laki akan dikecam sebagai orang yang tak bertanggungjawab sedangkan si wanita akan dituduh sebagai isteri yang tidak becus. Baik si laki-laki maupun si wanita yang telah bercerai sama-sama menghadapi kesukaran untuk mendapatkan jodoh kembali (Bamböwö Laiya, 1993:53).
Karena itu pula kasus perceraian kelihatannya tidak banyak terjadi di Nias. Di samping itu, hukum adat Nias sendiri tidak memberikan peluang yang lebih besar untuk melakukannya. Namun aturan perceraian yang digariskan dalam hukum adat memiliki tendensi pada ketidak-adilan terutama bagi si isteri.
Intelektual Nias Drs. W. Gulö menulis bahwa “Menurut adat Nias, hak menceraikan hanya ada pada suami. Menceraikan seorang isteri hanya dapat dilakukan apabila ternyata isteri tersebut telah melakukan perbuatan zinah dengan laki-laki lain. Pihak mertua si suami dapat juga menceraikan sementara, apabila di antara suami-isteri terjadi ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan tekanan berat terhadap si isteri (Drs. W. Gulö, 1983: 199).”
Hal senada juga ditulis oleh Rosthina dkk bahwa “Menurut adat etnis Nias, hak menceraikan hanya ada pada suami. Menceraikan seorang isteri hanya dapat dilakukan apabila; ternyata isteri tersebut telah melakukan perbuatan zinah dengan laki-laki lain. Kalau hal ini terjadi dahulu, maka kedua yang berjinah itu dipancung. Apabila tidak dipancung, ditebus oleh seorang Salawa, maka laki-laki yang berbuat zinah itu harus membayar “höli-höli döla mbagi” (penebus batang leher) artinya: penebus jiwa, (Dra. Rosthina R. Sirait Laoli dkk, 1984/1985: 38.”
Perzinahan awal perceraianTulisan itu menekankan bahwa “hanya perjinahan” yang bisa menjadi penyebab perceraian antara suami isteri, sementara penyebab lainya tidak dihiraukan. Mungkin ini maksudnya agar segala masalah yang menyulut konflik dalam rumah tangga harus bisa diselesaikan oleh suami isteri, sehingga keluarga mereka tetap utuh kecuali jika isteri melakukan perbuatan jinah atau salah satu di antara mereka meninggal dunia.
Ketika seorang laki-laki dinikahkan dengan seorang perempuan, sejak itu pula ia harus bisa bertindak dewasa paling tidak terpaksa dewasa. Diberikan segala hak-haknya secara adat mulai dari keluarga, lingkungan dan masyarakat kampung yang lebih luas. Namun, kenyataan yang terjadi bahwa dalam hidup sehari-hari persoalan rumah tangga selalu muncul dan bahkan berakhir dengan perceraian yang menurut hukum adat sendiri tidak memperbolehkannya. Masalah ekonomi keluarga dan tanggung jawab kedua belah pihak dalam mempertahankan keluarga mereka merupakan persoalan yang sering melanda keluarga. Ketidak-matangan dan kekurang-dewasaan kedua belah pihak juga menjadi penyebab segalanya. Pendidikan minim, ketidak mandirian dan kurangnya pemahaman akan pentingnnya komunikasi di antara suami-isteri menjadi sumbatan kelangsungan hidup rumah tangga. Tujuan membangun keluarga pun sering kali hanya terfokus pada keinginan memperoleh keturunan, terutama anak laki-laki.
Suami berpoligamiSelalu ditekankan bahwa perzinahan yang dilakukan oleh si isteri merupakan awal dari perceraian. Namun sesungguhnya banyak juga yang cerai oleh karena suami berpoligami. Biasanya poligami terjadi karena sang suami melakukan zinah kepada wanita lain sehingga terpaksa dia harus menjadikan wanita tersebut menjadikan isteri kedua. Karena itu pihak isteri pertama tidak bisa menerima dan tidak mau dimadu, lalu kembali ke rumah orang tuanya. Perceraian pun banyak dilakukan diam-diam saja. Bahkan ada juga di antara meraka yang kembali bersatu lagi, dimana si suami melakukan kewajiban-kewajiban adat. Bahkan ada juga yang tanpa syarat, namun pihak suami meminta pihak ketiga yaitu para tokoh adat untuk memanggil si isteri.
Usia terlalu mudaAkan tetapi semuanya itu terjadi karena tidak sedikit di antara suami isteri yang menikah pada umur yang sangat muda dan dalam perencanaan perkawinan mereka lebih didominasi oleh orangtua dan seluruh kerabatnya. Dan ini masih berlangsung terus-menerus di pedesaan terutama di wilayah yang belum memiliki akses transportasi. Misalnya di desa Hilimondregeraya dan desa Hilinamöza’ua kecamatan Teluk Dalam.
Sekarang ini memang ada juga perkawinan usia muda yang disebabkan oleh saling ketertarikan di antara kedua remaja itu sendiri walaupun umur mereka masih sangat muda. Akan tetapi kesiapan dan pemikiran mereka tidak sampai merencanakan bagaimana membangun rumah tangga itu. Yang penting kawin dan punya anak. Selebihnya tergantung orangtua laki-laki dan alam.
Perkawinan pada usia muda itu telah menjadi pemicu yang mengakibatkan kerentanan keluarga akan perceraian. Orang-orang yang dikawinkan pada usia muda ini, apalagi di bawah umur tentu tidak bisa diharapkan untuk mampu menyelesaikan segala persoalan hidup yang dari waktu ke waktu semakin berat dan kompleks apa lagi setelah punya anak yang dari tahun ke tahun jumlahnya bertambah terus. Mereka terpaksa menjadi orangtua pada umur 16 tahun bahkan banyak juga yang belum mencapai umur 16 tahun (13-15 tahun), tetapi orangtuanya menganggap sudah layak untuk berkeluarga. Beberapa kasus perkawinan terjadi pada umur 12 tahun.
Campur tangan orangtua suamiUsia yang terlalu muda untuk menikah membuat mereka tidak mandiri. Ketergantungan mereka kepada orangtua juga sering mendorong campur tangan orangtua dalam urusan rumah tangga anaknya terlalu besar. Ibu mertua terlalu melakukan kontrol yang ketat terhadap si isteri anaknya. Baik suami maupun isteri berada di bawah kendali orangtua pihak suami. Kondisi ini sering menimbulkan percekcokan keluarga, sebab sekali pun pasangan suami isteri itu masih terlalu muda, tetapi toh sesunggunya mereka sudah menjadi keluarga yang otonom.
Si isteri yang belum matang dari sisi umur harus menjalankan seluruh kewajibannya terutama kewajiban adat. Jika ia tidak dapat melakukannya maka tentu saja dia akan dianggap rendah oleh pihak keluarga si suami. Selain itu suami yang belum memiliki perencanaan dalam membentuk keluarganya sangat jauh lebih banyak memberi perhatian pada orangtuanya dari pada isteri. Bahkan terdapat banyak suami yang menyerahkan penghasilannya di tangan ibu kandung, bukan di tangan isteri. Tindakan ini dianggap sebagai balas budi orangtua yang terus-menerus membimbing anaknya hingga menikah dan bahkah sampai membayar seluruh mas kawin dalam perkawinan putranya termasuk utang-utangnya karenaperkawinan itu.
Faehu niha na no mangowaluSelain keinginan untuk mendapatkan keturunan, perkawina usia muda sering kali dilakukan untuk menghindari perbuatan yang tidak diinginkan, terutama perjinahan. Perkawinan juga dipandang sebagai salah satu cara untuk memacu proses pendewasaan seseorang. Banyak masyarakat yang memandang bahwa “faehu niha na no mangowalu” (orang akan berubah setelah berkeluarga) hanya karena melihat beberapa kasus. Seolah-olah dan merupakan hukum alam bahwa seseorang akan berubah dengan sendirinya ketika dia sudah berkeluarga(kawin). Jika dulu, seorang laki-laki kerjanya hanya malas-malasan atau berfoya-foya, maka setelah menikah ia akan berubah. Ia akan rajin berkerja dan juga hidup hemat karena sudah ada tanggungjawabnya yaitu untuk menghidupi keluarganya.
Walaupun tidak semua, pandangan ini telah banyak mendorong orangtua si laki-laki untuk menikahkan anaknya dan pada akhirnya menjadi beban pemikiran sendiri karena keluarga muda tersebut belum siap untuk membangun dan menjalankan keluarga yang ideal.
Gagambatö Istilah ini lebih populer di Nias Selatan, khususnya Telukdalam. Sebuah keluarga atau seseorang akan dipandang sebagai “gagambatö” jika ia telah melakukan paling tidak 2 hal dalam hidupnya, yaitu telah mendirikan rumah sendiri (motomo/molau omo) dan telah menikahkan/mengawinkan semua putranya (faöli ono/mamangowalu ono). Jika kedua hal ini telah dicapai maka seseorang dianggap telah meraih prestasi dan hidupnya dianggap sejahtera “ahono dödö (hidupnya tenang) atau “ohahau dödö” (bahagia). Walaupun setelah itu bukan saja kebahagaiaan yang dialami melainkan penderitaan karena masih ada utang dan harta semakin berkurang karena jumlah anggota keluarga juga bertambah.
Selain karena utang, mereka juga semakin tidak merasakan ketenangan dan kebahagiaan di kala keluarga putra mereka sering dilanda konflik baik antara suami isteri, orangtua dan saudara-saudaranya yang lain.
Menikah/kawin dan mendirikan rumah selalu menciptakan utang baik itu secara pinjaman dari renteiner maupun utang secara adat/pinjaman lunak kepada para kerabat yang disebut “zulöna” yang harus dibayar ketika pemberi membutuhkannya karena dia telah memberi pada saat kerabatnya kawin atau mendirikan rumah. Karena itu sering dikatakan bahwa “Lö sifaöli/sangowalu si mo’ömö.” Tak ada seorang pun yang menikah tanpa utang. Demikian juga pada pendirian rumah. Sekalipun pesta perkawinan sudah selesai, akan tetapi kewajiban secara adat terhadap pihak keluarga isteri tetap harus dilakukan, demikian juga sebaliknya. Pada acara puncak selalu dipesankan kepada pihak pengantin laki-laki bahwa “Hönö mböwö no awai, hönö mböwö no tosai” sebagai pertanda bahwa kewajiban adat akan terus berlangsung.
Jumlah utang dalam perkawinan bisa jadi tidak terlalu besar jika yang bersangkutan memiliki saudara banyak, karena mereka akan memememberikan bantuan yang tidak dibayarkan kembali. Namun untuk mendapatkan bantuan dari mereka terlebih dahulu dijamu dalam bahasa Nias disebut “So’i” atau “fanofulo/fangowulo dalifusö” dan kerabat lain “Si tenga bö’ö” yang dihitung sebagai saudara perempuan “Ono alawe.”
Penyebab perkawinan usia muda lainnya ialah keinginan orangtua si laki-laki untuk menjalin hubungan kekeluargaan dengan keluarga tertentu yang diketahui memiliki hubungan baik dan menghormati (mamosumange) mereka “si fatahö dödö.” Untuk menguatkan hubungan itu, maka mereka teruskan dengan menikahkan putra-putri mereka.
Tidak sedikit yang cerai Secara singkat sering dikatakan bahwa “Orang Nias tidak mengenal perceraian” padahal faktanya tidak sedikit keluarga yang bercerai. Hanya saja konsep dan proses perceraian yang terjadi tidak seperti yang kita ketahui sekarang ini misalnya peceraian menurut undang-undang Negara tentang perceraian, baik melalui jalur Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama.
Misalnya di salah satu desa di Kecamatan Teluk Dalam, penulis mengidentifikasi paling tidak kurang dari 54 orang perempuan yang pernah mengalami perceraian semasih hidup (fabali auri). Ke 54 orang perempuan tersebut, dulunya sudah menikah akan tetapi kemudian berpisah dengan suaminya karena berbagai macam penyebab.
Dari ke-54 orang tersebut, terdapat 13 kasus perceraian yang disebabkan perbuatan jinah yang dilakukan oleh si isteri dengan laki-laki lain. Sedangkan yang lainnya disebabkan faktor lain terutama kekurang-matangan, umur terlalu muda saat menikah, pendidikan sangat minim dan ketergantungan pada orangtua atau ketidak mandirian si suami dalam membina rumah tangganya.
Akhir-akhir ini, kadang juga perceraian juga terjadi karena si suami pergi merantau untuk mengadu nasib di seberang. Lama-lama sang suami memiliki isteri baru, paling tidak selingkuhan. Dan akibatnya istri yang tinggal di Nias, terlantar begitu saja. Bertitik tolak dari kasus tersebut di atas patut diperkirakan bahwa perceraian semacam itu tidak saja terjadi di desa yang menjadi perhatian penulis, akan tetapi terjadi di seluruh desa di Nias hanya saja jumlahnya pasti beda-beda. Jika Nias dan Nias Selatan terdiri dari 651 desa dan jika dirata-rakan 2 kasus saja per desa, maka jumlahnya tidak sedikit yaitu 1.032 kasus. Maka masalah ini sangat perlu dicermati dan dicari solusinya oleh berbagai pihak.
Langkah utama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran agar tidak melakukan perkawinan pada usia muda. Untuk mencegah hal ini diharapkan peran barbagai pihak terutama lembaga keagamaan. Misalnya setiap pemimpin agama boleh memberkati/merestui perkawinan di bawah umur 16 tahun. Dan jika ada pemimpin agama dan pemerintah yang mengesahkan perkawinan di bawah umur, diberikan sanksi yang tegas.
Memang dahulu, hukuman bagi orang yang melakukan perjinahan di Nias sangat keras. Misalnya dipancung atau dibenamkan dalam lubuk sungai hingga meninggal dunia. Sekarang ini seiring dengan masuknya ajaran Kristiani dan agama lain di Nias serta undang-undang pemerintah, hukum adat tersebut tidak berlaku lagi. Tinggal aib sosial yang masih ada, itu pun banyak juga generasi muda yang berwajah tembok. Tidak lagi menjaga martabat dirinya sendiri, keluarga, kerabat dan masyarakat sekitarnya. Modusnya pun “ala modern” yang sangat jauh berbeda dengan modus perbuatan jinah tempo dulu. Sekarang banyak anak muda yang terpengaruh dengan pergaulan bebas dan diantaranya terjerumus pada perbuatan seks pra nikah. Mereka tidak dipancung dan dibenam di air lagi, melainkan diarahkan ke pernikahan yang dilegalkan. Pernikahan yang ternoda namun dibungkus rapi.
Drs. W. Gulö juga menulis bahwa “baik istiadat maupun BNKP, keduanya sama-sama memperkuat larangan perceraian di antara suami dan isteri. Oleh karena itu perceraian di antara suami isteri itu telah dianggap sebagai suatu kejadian yang tidak umum dan kurang wajar. Tetapi apabila dari suatu perkawinan tidak diperoleh seorang anak, maka orang lebih cenderung untuk berpolygami dari pada menceraikan isteri yang pertama, walaupun berpolygami sendiri dilarang oleh gereja. Sekalipun hal ini umum terjadi, tetapi dari sini nampaklah pengaruh pemikiran adat itu dalam pemikiran orang Kristen (Drs. W. Gulö, 1983:202)
Nasib janda Seorang janda “lakha mbanua” yang telah ditinggal oleh suaminya karena mininggal dunia biasanya pulang ke rumah orangtuanya dan memiliki hak untuk menikah lagi. Janda tersebut bersama orangtuanya tidak menerima lamaran orang dalam waktu yang terlalu cepat setelah suaminya meninggal. Biasanya paling tidak satu tahun, barulah ia bisa menerima lamaran seorang laki-laki yang ingin memperisterikan dia.
Jika seorang perempuan berstatus janda langsung menerima lamaran atau menikah dengan laki-laki lain segera setelah suaminya meninggal dunia, maka akan muncul cemooh atau gossip dari warga. Kadang juga jika si janda terlalu cepat menerima lamaran dari laki-laki yang ingin memperisterikannya, maka pihak keluarga suaminya sering menduga bahwa si isteri menginginkan kematian atau perpisahan dengan suaminya agar bisa kawin dengan laki-laki lain.
Dahulu, seorang janda tidak diizinkan begitu saja untuk kembali ke rumah orangtuanya baik janda yang sudah punya anak maupun yang tidak. Banyak di antara para janda itu dikawinkan dengan saudara laki-laki mendiang suaminya dengan melewati tahapan, prosedur dan upacara perkawinan kembali walaupun tidak seketat dan sebesar jujuran bagi seorang perawan.
Hak suami sangat terlindungiOleh karena hak perceraian hanya diberikan kepada suami, maka sang isteri sangat dirugikan. Mereka tidak diberi hak untuk menceraikan suaminya yang tidak becus dan tidak bertanggungjawab. Mereka juga tidak diberi hak untuk menuntut haknya untuk mendapatkan harta yang diperoleh secara bersama-sama. Hal ini juga dapat memberi peluang kepada si suami untuk melakukan perjinahan atau paling tidak perselingkuhan dengan wanita lain yang berhaluan pada polygami.
Bisa juga terjadi bahwa si isteri tidak diberi hak perceraian karena si suami telah membayar mas kawin (jujuran) “böwö” yang sering dikonotasikan sebagai “böli niha” (harga manusia) di beberapa wilayah di Nias, pihak orangtua suami menyebut isteri putra mereka sebagai “böli gana’a.” Padahal berbicara tentang ”böwö” tidak saja dilakukan oleh satu pihak, karena böwö merupakan proses menerima dan memberi walaupun dalam wujud dan jumlah yang berbeda.
Sesungguhnya, tidak ada istilah pelunasan böwö, karena böwö itu dalam konteksnya yang lebih luas harus selalu dilakukan sepanjang manusia itu masih hidup. Manusia yang sudah tidak melaksanakan böwö, ia bukan manusia yang beradab. Böwö sebagi cermin keadaban yang tak bisa lepas dalam diri dan hidup manusia, karena justeru “böwö” yang mencirikhaskan manusia.
Bisa juga terjadi bahwa istilah böli gana’a tidak berlaku di seluruh masyarakat Nias dulu, akan tetapi berawal dari ekspresi kekesalan sebagai reaksi orangtua pihak si suami yang diharuskan membayar jujuran perkawinan yang begitu besar kepada orangtua pihak si isteri. Konsekuensinya si isteri (perempuan) yang seyogianya disimbolkan sebagai emas (ana’a, balaki, barasi dll) dipelesetkan menjadi imbalan/tebusan jujuran/emas “böli gana’a.” Jadi istilah “böli gana’a’ sesungguhnya tidak lahir dari keadaban yang murni yang menunjukkan bahwa pihak pengantin perempuan dan keluarganya memiliki tempat yang harus dihormati. Mereka sering juga disebut sebagai “sawatö” (tujuan) karena merekalah memiliki sumber hidup yang disimbolkan sebagai hulu air “ulu idanö.”
Berbeda dengan istilah atau penamaan “sorou tou” (yang berasal dari bawah) atau “sanörö arö nomo” (yang melewati kolong rumah) kepada pihak pengantin laki-laki dan seluruh anggota keluarga serta kerabatnnya. Jadi istilah böli gana’a adalah suatu kotradiksi yang merusak nilai-nilai adat serta martabat pihak si isteri dan keluarga orangtuanya bersama kerabatnya. Böli gana’a merupakan penyelewengan terhadap nilai-nilai budaya perkawinan. Sebab status keluarga laki-laki sebelum menikah sebagai “Soroi tou” tidaklah mungkin menurunkan harga diri/martabat si isterinya dengan memberi nama “böli gana’a atau owöliwa.” Dari pembiasaan “böli gana’a” ini sendiri bisa menimbulkan konflik antara si isteri dan ibu atau bapak mertuanya. Dan pada kondisi tertentu bisa menimbulkan perceraian, jika sang isteri tidak bisa bertahan lagi diperlakukan sebagai suatu barang yang sudah dilunasi harganya.
(Penulis: Nata’alui Duha, S.Pd.Wakil Direktur Museum Pusaka Nias)
Jika ada kesalahan mohon kirim email ke