Minggu, 14 Februari 2010

POLA KEHIDUPAN

DUA POLA KEBUDAYAAN
        Ilmuwan pengarang terkenal C.P. Snow dalam bukunya yang sangat provokatif the two cultures mengingatkan negara-negara Barat akan adanya dua pola kebudayaan dalam tubuh mereka yakni masyarakat ilmuwan dan non-ilmuwan, yang menghambat kemajuan di bidang ilmu dan teknologi. Analogi ini dapat diterapkan pula dinegara kita, bahkan lebih jauh lagi, dimana dalam bidang keilmuwan itu sendiri, di negara kita mengalami polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kedalam dua golongan yakni ilmu-ilmu sosial. Perbedaan ini menjadi sedemikian tajam seolah-olah kedua golongan ilmu ini membentuk dirinya sendiri yang masing-masing terpisah satu sama lain.
Tak dapat disangkal bahwa terdapat perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun perbedaan ini hanyalah bersifat teknis yang tidak menjurus kepada perbedaan yang fundamental. Dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari kedua ilmu tersebut adalah sama. Metode yang dipergunakan dalam mendapatkan pengetahuannya adalah metode ilmiah yang sama, tak terdapat alasan yang bersifat metodologis yang membedakan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
Ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan mudah dikontrol. Obyek-obyek penelaahan ilmu-ilmu alam dapat dikatakan tidak pernah mengalami perubahan baik dalam perspektif waktu maupun tempat. Dia mempunyai kemampuan untuk belajar dan disebabkan oleh faktor belajar itu dia mengembangkan kebudayaan yang terus berubah dalam arus dan kurun zaman.
Perbedaan tersebut tidaklan mengubah apa yang menjadi tujuan penelaahan ilmiah. Ilmu bukan bermaksud mengumpulkan berbagai fakta bagaikan seorang kolektor mengumpulkan macam-macam souvenir dari tempat-tempat yang dikunjunginya. Tujuan ilmu adalah mencari penjelasan dari gejala-gejala yang kita temukan yang memungkinkan kita mengetahui sepenuhnya hakikat obyek yang kita hadapi. Pengetahuan itu memungkinkan kita untuk mengerti dan memberikan kita alat untuk menguasai masalah tersebut.
Rumitnya berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia juga merupakan kesukaran baru dalam usaha untuk mengkajinya secara ilmiah. Masalah yang pertama adalah sukarnya melakukan pengukuran karena mengukur aspirasi atau emosi seorang manusia adalah tidak semudah mengukur panjang sebuah logam. Masalah yang kedua adalah banyaknya variabel yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Pengaruh kenaikan suhu terhadap panjang sebatang logam dapat segera kita ketahui dan dapat kita isolasikan dalam kegiatan laboratoris. Sedangkan masalah sosial seperti tingkat aspirasi manusia dapat dihubungkan dengan berbagai-bagai faktor seperti latar belakang keluarga, pendidikan, penghasilan, ras, ekonomi dan agama.
Masalah ini menyebabkan ilmu-ilmu alam relatif maju dalam analisis kuantitatif dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial. Lama sekali ilmu – ilmu sosial terpaku dalam tahap kualitatif karena yang dihadapi dalam soal pengukuran ini. Sekiranya teori ilmu-ilmu sosial merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, seperti juga ilmu-ilmu alam, maka mau tidak mau jawaban yang diberikan ilmu-ilmu sosial haru makin bertambah cermat dan tepat. Untuk mengkaji suatu masalah sosial secara cermat dan tepat maka hukum penawaran dan permintaan yang bersifat kualitatif tidak memenuhi syarat. Hukum yang menyatakan bahwa kalau penawaran turun sedangkan permintaan tetap maka harga akan naik tidaklah memungkinkan bagi kita untuk menghitung derajat kenaikan inflasi secara kuantitatif.
Untuk itu memang diperlukan usaha yang lebih sungguh-sungguh dari ilmuwan bidang sosial. Makalah pengukuran yang rumit dan variabel yang relatif banyak membutuhkan pengetahuan matematika dan statika yang lebih maju dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Di sinilah justru ironi dan kontradiksinya yang terjadi dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Di negara-negara maju kesalahan ini telah disadari dan ilmu-ilmu sosial mulai membenahi diri untuk menjawab tantang yang dihadapi. Secara sosilogis maka terdapat kelompok yang memberi nafas baru keapda ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu perilaku manusia tidak lagi memusatkan pengkajiannya pada penyusunan teori secara deduktif, sebagaimana yang sering terjadi dalam ilmu-ilmu sosial, namun penalaran deduktif digabungkan dengan proses pengujian induktif.
Perkembangan itu sangat menggembirakan dan bersifat sangat menunjang kemajuan ilmu-ilmu sosial. Dewasa ini ilmu-ilmu sosial atau ilmu perilaku manusia telah mulai memasuki tahap kuantitatif. Adanya dua kebudayaan yang terbagi kedalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini sayangnya masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Sekiranya kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuwan yang mencakup baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar.
Hal ini akan menyebabkan mereka yang mempunyai minat dan bakat baik di bidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih jurusan ilmu-ilmu alam karena alasan-alasan sosial psikologis. Argumentasi yang sering dikemukakan sebagai raison d’entre bagi eksistensi pembagian jurusan ini didasarkan pada dua asumsi. Asumsi yang pertama mengemukakan bahwa manusia mempunyai bakat yang berbeda dalam pendidikan matematika yang mengharuskan kita mengembangkan pola pendidikan yang berbeda pula. Pengembangan ilmu-ilmu sosial membutuhkan bakat-bakat matematika yang bauk untuk menjadikannya pengetahuan yang bersifat kuantitatif. Berpikir secara matematik tidak terlepas dari cara berpikir masyarakat secara keseluruhan. Artinya bahwa cara berpikir mempunyai konotasi kultural yang berjangkar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Sementara itu mungkin ada baiknya memikirkan alternatif yang mungkin bisa dilaksanakan sekiranya bahwa asumsi yang sudah lama kita percayai tersebut ternyata adalah benar. Tujuan yang pertama mencakup penguasaan matematika secara teknis dan mendalam dalam rangka penalaran deduktif untuk menemukan kebenaran. Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalam menghadapi masalah ini perlu diusahakan. Adanya dua pola kebudayaan dalam bidang keilmuwan kita bukan saja merupakan sesuatu yang regresif.

Disusun oleh     : Amiruddin 
Dipostkan oleh : infozairif    http://www.zairifblog.blogspot.com/