Mengenai
urutan wali dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
1.
Wali nasab terdiri dari empat
kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok
yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita.
Pertama : kelompok kerabat laki-laki
garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka
Ketiga : Kelompok kerabat paman, yakni
saudara laki-laki kandung ayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat : Kelompok saudara laki-laki
kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
2.
Apabila dalam satu kelompok
wali nikah terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka yang
paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kerabatnya dengan
calon mempelai wanita.
3.Apabila dalam satu kelompok sama derajat kerabatnya, maka yang
paling berhak menjadi wali
nikah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
4.Apabila dalam satu kelompok derajat kerabatnya sama, yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak
menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi
syarat-syarat wali.[1]
Menurut Mazhab
Syafi’i yang menjadi wali mujbir ialah ayah dan kakek. Mujbir artinya orang
yang berhak mengakadkan perkawinan dan akadnya dapat berlalu bagi anak
perempuannya yang masih gadis tanpa di minta kerelaannya dan si anak tidak
menentukan pilihan (terus atau cerai) apanila ia dinikahkan sewaktu balum
baligh,tetapi wali Mujbir ini dibatasi dengan bebarapa syarat:
a. Mempelai laki-laki itu harus sekufu(sepadan)
dengan mempelai perempuan.
b. Mempelai laki-laki harus membayar maskawin denga
tunai.
c. Tidak ada permusuhan antara mempelai laki-laki
dengan mempelai perempuan, baik permusuhan jelas maupun yang terselubung.
d. Tidak ada permusuhan yang nyata antara perempuan
yang dikawinkan dengan wali yang menikahkan.
Demikian tentang
gadis-gadis pingitan. Adapun laki-laki,ia lebih berhak untuk mengawinkan
dirinya dari pada ayahnya secara ijmak.Ayahnya tidak berhak untuk menjadi wali
bagi dirinya. Bagaimana seorang ayah akan berbuat hukum untuk anaknya tanpa ada
alasan hukum dan bertentangan dengan fitrah manusia? Bukankah ini berarti
kezaliman,menjadikan anak sebagai budaknya,harus mengikuti pendapat ayahnya dan
tidak berhak menentukan pikirannya sekalipun orang tuanya bodoh sedang anaknya
pintar,cerdik dan bijaksana.
Pada dasarnya hak untuk menjadi wali dalam perkawinan ada di tangan wali
aqrab,atau orang yang diberi wasiat untuk menjadi wali. Hanya wali aqrab saja
yang berhak mengawinkan perempuan yang dalam perwaliannya dengan orang lain.
Demikian pula dia berhak melarangnya kawin dengan seseorang apabila ada sebab
yang dapat diterima,misalnya suami tidak sekufu atau karena si perempuan sudah
dipinang orang lain lebih dulu,atau jelek akhlaknya,atau cacat badan yang
menyebabkan prkawinannya dapat di fasakhkan. Dalam hal semacam ini wali aqrab
adalah yang berhak menjadi wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang
lain,hingga kepada kalian sekalipun.
Para ulama berpendapat bahwa wali tidak boleh enggan menikahkan perempuan
yang dalam perwaliannya, tidak boleh menyakitinya atau melarangnya
kawin,padahal yang akan mengawininnya itu sudah sekufu dan sanggup membayar
maskawin. Dalam hal seperti ini apabila walinya enggan menikahkan, maka si
perempuan berhak mengadukan halnya kepada hakim untuk dinikahkan. Dalam hal semacam
ini hak wali yang enggan menikahkan iti tidak berpindah kepada wali hakim yang
lebih rendah tingkatannya,tetapi langsung berpindah ke tangan hakim.[2]
Berkaitan dengan masalah wali hakim,dinyatakan didalam pasal 23 KHI yang
berbunyi:
1)
Wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau
adlal atau enggan.
2)
Dalam hal
wali adlal atau enggan maka wali hakum baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.[3]
Sebelumnya telah di terangkan bahwa wali anak
perempuan merupakan hak dari wali aqrab yang tidak dapat berpindah kepada wali
lain atau kepada penguasa,kecuali apabila ada sebab-sebab yang dapat diterima.
Hal-hal yang menyebabkan hak menjadi wali dapat berpindah kepada wali
hakim,yaitu:
(1)
Apabila ada
sangketa antara wali.
(2)
Apabila tidak
ada wali.Hal ini dibenarkan apabila telah jelas tidak adanya wali atau wali
tidak berada pada tempat.[4]
Apabila datang peminang yang sekufu,perempuannya
bersedia, tetapi walinya tidak diketahui dimana berada,meskipun tidak jauh
tempatnya atau wali meninggalkan kampung halamannya padahal sudah ada laki-laki
yang akan memperistri, maka dalam keadaan semacam ini hakim berhak menikahkan
laki-laki tersebut dengan perempuan yang tidak punya wali itu,kecuali apabila
si perempuan bersedia menunggu kedatangan walinya,meskipun lama.Kalau ia tidak
sabar, maka ia tidak harus menunggu kedatangan walinya. Hadis Rasulullah saw.menerangkan:
ثلا ت لا يؤ خر ن ا لصلا ة إ ذ ا حضر ت و ا لأ
يم إ ذا و جد ث نفا ( ر و ا ه ا لبيهفي )
Artinya: Tiga perkara yang tidak boleh di
tunda,yaitu shalat apabila telah tiba waktunya,jenazah apabila telah hadir dan
janda( orang yang tidak bersuami atau beristri) apabila telah mendapat orang
yang sekufu. ( Riwayat al-Balihaqi).
D.
Orang-orang yang Berada di Bawah Perwalian
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai yang bertindak untuk menikahkannya (pasal
129 KHI). Apabila tidak dipenuhi maka status perkawinannya tidak sah. Ketentuan
ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw.riwayat dari Aisyah ra.:
ا يما ا مر أ ة نكحت بغير ا ذ ن و ليا فنكا حها
با طل فا ن ا ستجرو ا فا لسمطا ن و لي من و مي لها
Artinya: Apabila seorang perempuan menikah tanpa
izin walinya maka nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya,maka bagi
dia berhak menerima mahar sekedar menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan
(memberi izin) maka wali hakim (pemerintah)lah yang menjadi wali bagi perempuan
yang (dianggap) tidak memiliki wali (Riwayat Empat kecuali an-Nasai).
Dalam
riwayat dari Abu Bardah ibn Abu Musa dari bapaknya mengatakan bahwa Rasulullah
saw.bersabda:
لا نكا ح ا لا بو لي ( ر و ا ه ا لا ر بعة و ا
حمد )
Artinya: Tidak sah nikah,kecuali (dinikahkan) oleh
wali (Riwayat Ahmad dan Imam Empat).
·
Karena
keberadaan wali nikah merupakan rukun,maka harus dipenuhi beberapa syarat.
Pada bab terdahulu telah disinggung secara
sepintas bahwa syarat wali adalah: laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian
hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian. Dalam pasal 20 KHI ayat
(1) dirumuskan sebagai berikut :” yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim,aqil dan
baligh”. Dalam pelaksanaanya,aqad nikah atau ijab dan qabul,penyerahannya
dilakukan oleh wali mempelai perempuan yang mewakilinya, dan qabul (penerimaan)
oleh mepelai laki-laki.
·
Undang-undang
perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah secara eksplisit.
Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan
:”Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak
berwenang,wali nikah yang tidak sah,atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh
2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis
keturunan harus ke atas dari suami istri,jaksa, dan suami dan istri”. Jadi
secara implisit bunyi pasa di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa perkawinan
yang di ikuti wali, maka perkawinannya batal atau dapat dibatalkan. Namun
demikian, apabila ternyata mereka yang melangsungkan perkawinan telah hidup
bersama suami istri,maka hak untuk membatalkannya menjadi gugur. Ini sejalan
dengan isyarat hadis yang telah di kutip di atas,bahwa apabila mereka sudah
terlibat hubungan suami istri,maka mempelai perempuan berhak mendapatkan mahar.
Dalam rumusan UU Perkawinan dinyatakan: “Hak untuk membatalkan oleh suami,atau
isteri berdasarkan ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri yang
dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
·
Kata
perkawinan dalam Undang-undang perkawinan, memang digunakan dalam pasal 50
sampai dengan pasal 54, tetapi pengertiannya bukan wali nikah, tetapi wali
sebagai pengampu atau kurator bagi anak yang sofih atau hajru. Jadi
sebenarnya masalah wali nikah yang dimaksud pasal 26 di atas, di kembalikan
kepada pasal 2, yang menegaskan bahwa ketentuan hukum agama yang menjadi
penentu utama sah dan tidaknya perkawinan. Karena pada prinsipnya seorang wanita tidak berhak menikahkan
dirinya sendiri,demikian juga wanita menikahkan wanita lainnya.[5]
·
Wali nikah
ada dua macam, pertama, wali nasab yaitu wali yang hak perwaliannya didasarkan
karena adanya hubungan darah.Ini bisa orang tua kandungnya, dan bisa juga wali
aqrab dan ab’ad (saudara terdekat atau agak jauh). Kedua, wali hakim, yaitu
wali yang hak perwaliannya timbul,
karena orang tua mempelai menolak (‘adal) atau tidak ada atau karena sebab
lain.
·
Kompilasi
Hukum Islam merinci tentang wali nasab dan wali hakim dalam pasal 21,22,dan 23.
Selengkapnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 21:
(1)
Wali nasab
terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,kelompok yang satu di
dahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan
dengan mempelai calon wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus
ke atas yakni ayah,kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga,
kelompok kerabat paman,yakni saudara laki-laki kandung ayah,saudara seayah,dan
keturunan laki-laki mereka.
Keempat,kelompok saudara laki-laki kandung
kakek,saudara laki-laki seayah,kakek dan keturunan laki-laki mereka.
(2)
Apabila dalam
satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi
wali.maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3)
Apabila dalam
satu kelompok sama derajatnya kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi
wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4)
Apabila dalam
satu kelompok derjat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung, atau
sama-sama.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak,urutannya
tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah,atau oleh karena wali nikah itu
menderita tuna wicara.tuna rungu atau sudah udzun,maka hak menjadi wali
bergeser kepada wali nikah yanh lain menurut derajat berikutnya.[6]
Apabila diurutkan secara lebih rinci adalah
sebagai berikut:
1. Ayah kandung.
2. Kakek (dari garis ayah dan seterusnya keatas dalam
garis laki-laki)
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7. anak laki-laki dari anak laki-laki saudara
laki-laki sekandung
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara
laki-laki seayah
9. saudara laki-laki ayah sekandung (paman)
10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)
11. Anak laki-laki paman sekandung
12. Saudara laki-laki kakek sekandung
13. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung
14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah
Apabila wali-wali tersebut tidak ada, maka hak
perwalian pindah kepada kepala negara yang biasa di sebut dengan wali hakim.
Ditegaskan dalam pasal 23:
(1) Wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal(enggan).
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Mengenai
perpindahan urutan wali aqrab dari yang dekat kepada yang jauh urutannya
apabila wali yang dekat ada,atau karena sesuatu hal, dianggap tidak ada yaitu:
(1) Wali aqrab tidak ada sama sekali.
(2) Wali aqrab ada, tetapi belum baligh.
(3) Wali aqrab ada, tetapi menderita sakit gila
(4) Wali aqrab ada, tetapi pikun kearena tua.
(5) Wali aqrab ada, tetapi bisu dan tidak dapat
dimengerti isyaratnya.
(6) Wali aqrab ada, tetapi tidak beragama islam sedang
calon mempelai wanita beragama islam.[7]
Adapun perpindahan dari wali nasab kepada wali
hakim dapat dijelas kan sebagai berikut:
(1) Wali aqrab atau wali ab’ad tidak ada sama sekali.
(2) Wali aqrab ada, tetapi akan menjadi calon mempelai
pria, sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman) sudah tidak ada.
(3) Wali aqrab ada,tetapi sedang ihram.
(4) Wali aqrab ada, tetapi tidak diketahui tempat
tinggalnya (mafqud).
(5) Wali aqrab ada, tetapi menserita sakit pitam.
(6) Wali aqrab ada, tetapi menjalani hukuman yang
tidak dapat dijumpai.
(7) Wali aqrab ada, tetapi bepergian jauh sejauh
perjalanan yang membolehkan salat qasar.
(8) Wali aqrab ada, tetapi menolak untuk
mengawinkannya (adlal).
(9) Calon
mempelai wanita menderita sakit gila,sedang wali mujbirnya (ayah atau kakeknya)
sudah tidak ada lagi.
Sebagaimana diuraikan,peranan wali berkaitan
dengan umur calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun seperti diatur
dalam pasal 6 undang-undang perkawinan ayat (3), (4), (5), dan (6). Denagan
demikian sangat tegas, kedudukan wali menjadi bagian esensial bagi sah dan tidaknya perkawinan
[1] Dapertemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam (Jakarta:Karta
Anda, t,th,), h. 27.
[2] H.S.A. Al- Hamdani, Risalah Nikah, h.120.
[3] Inpres No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, h. 28.
[4] Ibid., h.29.
[5] As-San’ani, Subul as- Salam, Juz III, jilid 2
(Kairo: Dar Ihya’ at-Turas al-Arabi, 1379 H/1960),h.117-118.
[6] Taqituddin Abu Bakar, Kifayah al- Akhyar, h. 49.
[7] Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (Diktat tidak diterbitkan ) ( semarang: IAIN
Walisongo,t,th.),h.36.
0 komentar:
Posting Komentar