Menurut para orientalis, pada saat Nabi saw wafat Al Qur’an sama
sekali belum terkodifikasi. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya teks-teks
Al Qur’an yang masih berceceran di tangan para sahabat, baik berupa
catatan-catatan pribadi maupun berupa hafalan yang mereka miliki. Selain hal
tersebut, adanya kepedulian para sahabat terhadap pentingnya pengumpulan dan
penyusunan Al Qur’an yang baru terjadi setelah terjadinya peristiwa peperangan
Yamamah pada 12 hijriah yang banyak menewaskan para Huffadz juga menjadi salah
satu fakta sejarah yang memperkuat asumsi mereka.
Dalam mengomentari pendapat para sarjana muslim yang mengaitkan
motif pengumpulan Al Qur’an dengan peristiwa Yamamah, dengan pendekatan sejarah
mereka berusaha membuktikan dan memberikan fakta bahwa pengaitan dua hal
tersebut sulit diterima dan dipertahankan.
Banyaknya versi riwayat yang menginformasikan jumlah huffadz
yang gugur dalam peperangan ini, menurut mereka hal ini megindikasikan bahwa
dalam periwayatan tersebut terdapat sesuatu yang musykil. Dan untuk memecahkan
permasalahan ini diperlukan adanya suatu pendekatan sejarah untuk melacak
kevaliditan berita tersebut. Para orientalis setelah melakukan pengkajian dan
penelitan terhadap sumber-sumber sejarah yang terkait dengan peristiwa Yamamah
ini, ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil dari nama-nama yang gugur dalam
peperangan Yamamah, yang mungkin banyak menghafal bagian al-quran.
L. Caetani, dalam hal ini mengatakan bahwa jumlah yang
tewas pada waktu peperangan Yamamah ini hampir seluruhnya orang-orang yang baru
masuk Islam. Sementara Schawally menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap
daftar nama-nama penghafal Al Qur’an yang gugur, ia hanya menemukan dua orang
yang bisa dikatakan memiliki pengetahuan al-quran yang meyakinkan, yaitu Abdullah bin Hafs bin Ghanim dan Salim bin Ma’qil.
Selain adanya keganjilan di atas, yang ditemukan oleh para
orientalis terhadap anggapan yang diyakini oleh para sarjana muslim selama ini,
adanya kenyataan bahwa otoritas mushaf koleksi Abu Bakar yang tidak diakui secara
ofisial
Hal tersebut berdasarkan pada periwayatan yang menyebutkan bahwa
dimasa khalifah Abu Bakar beliau pernah memerintahkan Zaid untuk mengumpulkan
Al Qur’an. Karakter mushaf yang dikumpulkan Zaid pada esensinya merupakan
mushaf yang resmi karena dilakukan atas perintah dan otoritas khalifah Abu
Bakar. Suatu kumpulan “resmi” Al Qur’an semacam itu tentunya bisa diduga
memiliki otoritas dan pengaruh luas, sebagaimana dinisbatkan kepadanya. Tetapi,
bukti semacam itu tidak ditemukan dalam kenyataan sejarah. Kumpulan-kumpulan
atau mushaf-mushaf Al Qur’an lainya, seperti mushaf ibn mas’ud, ubay bin kaab
atau abu musa al-asyari, justru terlihat lebih otoritatif dan memiliki pengaruh
luas diberbagai wilayah kekhalifahan Islam ketika itu, ketimbang mushaf yang
dikumpulkan zaid. Masih dalam alur yang sama, pertikaian yang disebabkan oleh
perbedaan bacaan dalam mushaf-mushaf otoritatf dan berpengaruh pada masa Usman
barangkali tidak akan timbul jika pada waktu itu telah ada satu mushaf resmi di
tangan khalifah yang bisa dijadikan rujukan.
Dengan demiakan karakter resmi mushaf Al Qur’an yang
dikumpulkan zaid pada masa pemerintahan Abu Bakar terlihat sangat meragukan.
Bahkan perjalanan histories selanjutnya mushaf tersebut, dari tangan Umar
berpindah ke Hafshah sebagai warisan lebih menunujukkan karakter personalnya.
Oleh sebab itu, dengan adanya berbagai versi mushaf yang terdapat ditengah-tengah kaum muslimin pada waktu itu menimbulkan suatu kenyataan yang tak terbantahkan yaitu masalah adanya perbedaan bacaan yang terdapat dalam keempat mushaf tersebut.
Dari hal-hal yang tersebut di atas, mereka meyakini bahwa
al-quran pada dasarnya mengalami nasib yang sama dengan kitab-kitab suci
sebelumnya yakni ia tidak terbebas dari adanya penambahan atau bahkan
pengurangan dari para generasi awal Islam sesuai dengan selera mereka
masing-masing yang tergambar dari banyaknya versi Al Qur’an yang ada pada
mereka yang mana antara satu sama lain banyak terdapat perbedaan. Perbedaan
teks dan susunan inilah yang mengindikasikan bahwa Al Qur’an sejak wafatnya
Nabi saw telah mengalami reduksi dan pabrikasi yang nilai-nilai otentisitasnya
tidak bis dipertanggungjawabkan.
Kekeliruan Para Orientalis Terhadap Al-Quran (Mushaf
Usmani)
Al Qur’an sebagai kalamullah yang ditransmisikan secara lisan, dalam arti ucapan dan sebutan. Kesalahan dalam memahami pada aspek inilah sehingga melahirkan suatu anggapan yang menyamakan Al Qur’an dengan bibel dikalangan orientalis. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari frame work berfikir seperti ini akan menimbulkan suatu konklusi yang menganggap bahwa Al Qur’an adalah suatu teks yang profan yang sama dengan teks-teks lain yang bisa direvisi dan diotak-atik sesuai dengan kehendak reader.
Menurut Syamsuddin Arif, ada beberapa kekeliruan yang menyebabkan konklusi dari para orientalis dalam memamahami dan memandang Al Qur’an (mushaf Usmani) berbeda dengan konklusi yang dihasilkan oleh para sarjana muslim. Kekeliruan tersebut adalah;
Pertama, pada prinsipnya Al Qur’an bukanlah tulisan (rasm atau writing) tetapi ia adalah bacaan (qiraah atau recitation) dalam arti ucapan atau sebutan. Al Qur’an dalam artian bacaan ini dimaknakan dalam setiap transimisinya baik itu dalam proses pewahyuannya maupun pengajaran atau penyampaiannya.
Pertama, Dari itu seluruh kekeliruan dan kengawuran para
orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan
Puin, misalnya berangakatt dari sebuah asumsi keliru yang menganggap Al Qur’an
sebagai “dokumen tertulis” atau teks, bukan sebagai “hafalan yang dibaca” atau
recitio. Dengan asumsi keliru ini, mereka mau menerapkan metodologi filologi
yang lazim digunakanan dalam memamahi bible untuk memahami Al Qur’an. Akibatnya
mereka menganggap bahwa Al Qur’an adalah produk sejarah, hasil interaksi orang
arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka.
Kedua, kekeliruan mereka dalam memahami fakta sejarah jam’u
(pengumpulan dan penghimpunan) Al Qur’an seperti yang telah dipaparkan diatas.
Lebih lanjut mereka menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalaah
kisah fiktif dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke
9 M.
Ketiga, para orientalis salah paham tentang rasm dan qiraat. Sebagaimana diketahui, tulisan arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam Al Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca sedikit pun. System vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian rasm Usmani sama sekali tidak meninbulkan masalah, mengingat kaum muslimin pada saat itu belajar Al Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Dari pemahaman mereka yang keliru terhadap permasalahan ini, sehingga mereka (para orientalis) menyimpulkan bahwa teks gundul inilah sumber variant readings – sebagaimana terjadi dalam kasus bible- yang pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa Al Qur’an pada dasarnya sama dengan bible. Dari itu untuk memahaminya kita juga harus menggunakan metodologi yang sama seperti metodologi yang diterapkan pada bible.
Demikianlah tulisan singkat ini, penulis sadar dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan dari itu saran dan kritik sangat penulis harapkan agar terwujud suatu kajian yang lebih komprehensif dan berkualitas demi mencapai ilmuwan muslim sejati.
Ketiga, para orientalis salah paham tentang rasm dan qiraat. Sebagaimana diketahui, tulisan arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam Al Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca sedikit pun. System vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian rasm Usmani sama sekali tidak meninbulkan masalah, mengingat kaum muslimin pada saat itu belajar Al Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Dari pemahaman mereka yang keliru terhadap permasalahan ini, sehingga mereka (para orientalis) menyimpulkan bahwa teks gundul inilah sumber variant readings – sebagaimana terjadi dalam kasus bible- yang pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa Al Qur’an pada dasarnya sama dengan bible. Dari itu untuk memahaminya kita juga harus menggunakan metodologi yang sama seperti metodologi yang diterapkan pada bible.
Demikianlah tulisan singkat ini, penulis sadar dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan dari itu saran dan kritik sangat penulis harapkan agar terwujud suatu kajian yang lebih komprehensif dan berkualitas demi mencapai ilmuwan muslim sejati.
0 komentar:
Posting Komentar