Sabtu, 08 Januari 2011

Pembagian Negara dalam Islam

        Berbeda dengan syari’at Nabi-nabi sebelumnya yang bersifat lokal dan temporal, syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Bersifat internasional dan kekal hingga akhir zaman. Dengan kata lain, syariat Islam bersifat universal melintas batas-batas ruang dan waktu. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Al-Quran :

Artinya : Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan
(QS. Saba’, 34 : 28)

          Meskipun Al-Qur’an mengklaim syariat Islam bersifat kekal dan universal, Al-Qur’an juga mengaki kebebasan manusia untuk menerima sepenuh hati atau menolaknya dengan penuh kesadaran, tanpa merasa dipaksa. Dalam surat al-kahfi, 18:29, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan kebenaran Islam. Karena itu, sipa yang mau beriman silakan, dan siapa yang ingin ingkar (kafir) juga silakan.
Dalam ayat lain pun Allah menegaskan bahwa masalah iman seseorang adalah urusan Allah. Nabi sendiri tidak berhak memaksa orang lain, untuk mengikuti beliau.

Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
(QS. Yunus, 10:99).

        Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa secara ideal syari,at Islam memang ditujukan untuk segenap manusia hingga akhir zaman, Namun realitas menunjukkan bahwa tidak semua manusia mau menerima kebenaran Islam. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa syari,at Islam tidak dapat diberlakukan untuk seluruh manusia. Berdasarkan kenyataan ini, jumhur ulama membagi negara -yang merupakan alit kekuasaan dalam menerapkan hukum Islam- kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam dan dar al-harb, sementara ulama syafi'iyah menambahkan kategori dari al-'ahd atau dar al-aman di samping keduanya. Para ahli fiqh mazhab syi'ah Zaidiyah mengistilahkan dar al-waqf untuk dar al-Islam dan dar al-fasiq untuk dar al-harb.
        Sedangkan kelompok Khawarij sekte Ibadiyah menamakan dar al-Islam dengan dar al-tawhid, meskipun mayoriths penduduknya musyrik atau munafik, selama pennganut Islam tetap dapat melaksanakan kegiatan keagamaan mereka secara terang-terangan" dan aman. Untuk dar al-harb mereka namakan dengan dar al-syirk.
         Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan identitas suatu negara apakah termasuk dar al-Islam. Di antara mereka ada yang melihat dari sudut hukum yang berlaku di negara tersebut. Ada pula yang memandang dari sisi keamanan warganya menjalankan syari'at Islam. Sementara ada juga yang melihat dari sisi pemegang kekuasaan negara tersebut.
     Imam Abu Yusuf (w. 182 H.), tokoh terbesar mazhab Hanafi berpendapat bahwa suatu negara disebut dar al-Islambila berlaku hukum Islam di dalamnnya, meskipun mayoritas warganya tidak muslim. Sementara dar al-harb menurutnya. adalah negara yang tidak memberlakukan hukum Islam, meskipun sebagian besar penduduknya beragama, Islam.

          Perubahan Dar al – Islam dan Dar al-harb
Berpijak pada unsur-unsur hukum yang berlaku dan pemegang kekuasaan untuk menentukan sebuah negara dar al – Islam, maka sebaliknya. Namun ulama berbeda pendapat tentang masalah ini.
Sebagian pengikut mazhab Syafi’i berpendapat bahwa suatu negara yang telah menjadi dar al – Islam tidak dapat berubah status menjadi dar al – harb. Pendapat ini diperkuat pula oleh Imam Al-Nawawi. Menurutnya, dar al – Islam yang didalamnya telah menetap umat Islam tetap dipandang sebagai dar al – Islam, meskipun kemudian dikuasai oleh non-muslim. Berdasarkan pendapat ini, suatu negara yang telah menerapkan hukum Islam dan dikuasai oleh pemerintah muslim dalam waktu tertentu tetap dianggap sebagai dar al – Islam selamanya.
Sejalan dengan perkembangan sejarah, pendapat ulama Syafi’iyah di atas juga berkembang. Sebagian pengikut mazhab Syafi’i merumuskan.

1. Muslim
          Istilah “muslim” merupakan nama yang diberikan bagi orang yang menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati kebenaran agama Islam dalam akidah, syariah dan akhlak sebagai aturan hidupnya. Disamping itu, ia menantang segala bentuk penyimpangan yang dapat merubah identitasnya sebagai seorang muslim. Kata “muslim” berasal dari bahas Arab, yang berarti “orang yang selamat.” kedua istilah ini banyak terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi. Gelar “muslim” sendiri langsung diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana dalam surat al-Hajj, 22 : 78

Artinya : Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.....
               Seseorang dapat disebut muslim tidak hanya sekedar menganut dan meyakini Islam sebagai agamanya. Lebih dari itu, keyakinan tersebut harus dibuktikannya dalam bentuk perbuatan konkret. Dalam hal ini, seorang muslim mememuhi sejumlah syarat sebagaimana diterangkan dalam sabda Rasulullah : 

عن انس بن مالك قال : قال ر سول الله صلى الله عليه و سلم : من صلى صلا تنا و استقبل قبلتنا واكل ذ بيحتنا فذالك المسلم الذى له ذمة و ذمة الله ور سو له.
              Dari Anas Ibn Malik, ia berkata bahwa Nabi Saw. Telah bersabda, Siapa yang mengaku tiada Tuhan selain Allah dan menghadap kiblat. Yang kita yakini, lalu ia melakukan shalat serta memakan sembelihan kita, maka orang tersebut adalah muslim yang mendapat jaminan Allah dan Nabi-Nya (HR. Bukhari)
            Hadis diatas menginformasikan bahwa seseorang yang disebut muslim minimal memenuhi unsur-unsur mengucap kalimat syahadat, melaksanakan sholat dan memakan sembelihan yang dilakuan secara lslami.
berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Pertama mereka yang menetap di dar al-Islam dan mempunyao komitmen yang kuat untuk mempertahankan dar al- Islam. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen yang tinggal kepada lslam serta mengakui pemerintahan Islam. Kedua, muslim yang tingga mentada di dar al-harb dan tidak berkeinginan untuk hijrah ke dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namubn menurut Abu Habifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.

2. Ahl al-Zimmi
              Kata ahl ai-zimmi atau ahl al-zimmah merupakan tarkib idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl”, secara bahasa, berarti keluarga atau sahabat. Sedangkan kata ”zimmi/zimmah” berarti janji, jaminan dan keamanan. Seseorang yang mempunyai janji disebut rajulun zimmiyyun. Zimmah dalam arti janji dapat dilihat pada surat al-tawbah, 9 : 10 :

        Artinya : Mereka tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dalam pandangan al-Ghazali (w. 505 H), ahl al-zimmi adalah setiap ahli kitab yang telah baligh, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah. Ibn al-Juza’i al-Maliki memberikan definisi yang hampir sama dengan al-Ghazali dengan mendefenisikan ahl al-zimmi sebagai ’orang kafir yang merdeka, baligh, laki-laki, menganut agama yang bukan Islam, mampu membayar jizyah dan tidak gila.’ Al-Unqari (w. 1383 H) mempertegas pendapat diatas dengan menyimpulkan bahwa ahl al-zimmi adalah orang non-muslim yang menetap di dar al-Islam dengan membayar jizyah.
                Dari ketiga definisi di atas, maka unsur penting untuk menentukan status seseorang sebagai zimmi adalah non-muslim, baligh, beakal, bukan budak, laki-laki tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyan kepada pemerintah Islam. Status zimmi dapat diperoleh seseorang melalui perjanjian (akad zimmah) dengan pemerintah Islam. Akad tersbeut dibenarkan dalam Islam, karena membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Dengan perjanjian ini, ahl al-zimmi dapat hidup berdampingan dengan umat Islam, sehingga secara langsung mereka menyaksikan ajaran Islam yang diamalkan oleh umatnya. Dengan demikian, mereka akan tertarik dengan cara-cara kehidupan umat Islam.

C. Hubungan Diplomatik
            Sesuai dengan namanya sebagai agama damai dan sejahtera, Islam lebih mengutamakan perdamaian dan kerja sama dengan negara mana saja. Islam diturunkan sebagai rahmat untuk alam semesta (Al-Anbiya, 21 : 107). Karena itu, Allah tidak membenarkan umat Islam melakukan peperangan, apalagi mengekspansi negara lain. Perang hanya diizinkan dalam kondisi yang terdesak dan hanya untuk membela diri (defensif) (Al-Hajj, 22 : 39-40). Para ulama pun merumuskan sebuah kaedah dalam hubungan internasional, yaitu :
ا لا صل فى العلا قة هو السلم
 Pada dasarnya , landasan hubungan antar negara adalah perdamaian.

          Melalui jalinan kerjasama dengan berbagai negara, umat Islam atau dar al-Islam diharapkan dapat menampilkan sososk Islam yang simpatik dan sejuk, sehingga menarik hati pihak lain untuk menerimanya dengan kesadaran sendiri.
         Dalam negara Madinah, Nabi Muhammad sebagai kepala negara, juga melakukan jalinan kerjasama dengan berbagai negara sahabat. Kerjasama ini dipererat melalui hubungan diplomatik dengan negara-negara tersebut. Negara-negara sahabt yang mempunyai hubungan diplomatik dengan dar al-Islam, dinami oleh ulama Syafi’iayh dengan dar al-’ahd atau dar al-shulh. Pada bagian berikut, sebelum memaparkan hubungan diplomatik dalam politik Islam, ada baiknya penulis uraikan terlebih dahulu pengertian diplomasi dan sejarah munculnya hubungan diplomatik serta etika diplomasi dalam hukum internasional.
          Diplomasi (diplomacy, Inggris) berasal dari bahasa Yunani Kuno, diploo = meliputi; diploma = perjanjian atau perikatan atau surat kepercayaan. Pada mulanya, kata ini dipergunakan untuk menunjukkan suatu penandatangan naskah perjanjian yang disepakati oleh dua pihak yang mengadakan perjanjian. Pada masa kekaisaran Romawi, semua paspor, yang melewati jalam milik negara dan surat-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, dilipat dan dijahit menjadi satu dengan cara-cara tertentu. Surat jalan ini disebut ”diplomas.
        Dalam perkembangannya, kata ini diserap ke dalam bahasa latin dan digunakan untuk pengertian perjanjian kerjasama bangsa Romawi dengan suku bangsa asing di luar Romawi. Dari peristiwa ini, lama kelamaan kata ”diplomasi” dihubungkan dengan manajemen hubungan internasional. Orang yang di utus oleh negara masing-masing untuk melakukan kerja sama dalam perjanjian ini di namakan dengan ”diplomat”. Mereka memperoleh hak-hak istimewa dan perlindungan keamaan dalam melaksanakan tugas-tugas diplomatiknya di negara ia ditempatkan. Menurut hukun internasional, mereka memiliki hak-hak kekebalan diplomatik, tidak tunduk pada hukum yang berlaku di negara ia bertugas.
Dalam The Oxford English Dictionary, seperti di kutip Roy, kata diplomasi diartikan sebagai manajemen hubungan internasional melalui negosiasi yang mana hubungan ini diatur dan diselaraskan oleh duta besar dan para wakil bisnis atau seni para diplomat. Selanjutnya Roy sendiri menyimpulkan bahwa diplomasi adalah seni mengendepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan nya.
Dalam tatanan kehidupan dunia, tidak ada satu negarapun yang dapat hidup dengan mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Negara tersebut membutuhkan negara lain untuk memasarkan produk-produknya atau untuk mendapatkan produk-produk negara lain yang tidak mereka miliki. Hal ini semakin mudah mereka lakukan, apabila mereka menjalin kerjasama dan membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.

D. Fakta Perjanjian
             Sebagaimana diungkapkan di atas, adanya hubungan diplomatik antara satu negara dengan negara lainnya diawali oleh penandatanganan pakta perjanjian. Sebelum dirumuskannya Konvensi Wina mengenai Pakta Perdamaiain 1959, Nabi dan sahabat telah mempraktikkan bagaimana dar al-Islam harus tunduk dan patuh pada pakta perjanjian yang. Telah disepakati dengan negara lain. Pakta perjanjian damai yang pertama kali dilakukan Nabi dalam sejarah Islam adalah Perjanjian Hudaibiyah dengan pihak Quraisy Mekah pada tahun 6 H.
         Bila dilihat sepintas, perianiian ini timpang dan merugikan umat Islam, terutama pasal dua yang mengharuskan ekstradisi secara sepihak. Namun Nabi Muhammad Saw., sebagaipihak yang telah menandatangani perjanjian Hudaibiyah ini tidak punya pilihan kecuali mematuhi dan melaksanakannya. Tidak lama setelah ratifikasi perjanjian ini, Abu Jandal, putra Suhail -delegasi kaum Quraisy Mekah yang menandatangani perjanjian yang telah memeluk Islam, datang berlutut kepada Nabi dengan keadaan tangan terbelenggu, untuk minta perlindungan dari perlakuan kasar dan siksaan orang Quraisy terhadap dirinya. Suhail bersi keras mengherrdaki agar anaknya di.rerahkan kembali ke Mekah, sesuai dengan perjanjian yang baru saja disepakati. Umar sendiri bermohon kepada Nabi agar melindungi Suhail. Namun Nabi tetap pada pendiriannya menghormati perjanjian dan tidak dapat melindungi Abu Jandal. Akhimya Abu Jandal diesktradisi ke Mekah. Dari dimensi hukum internasional, perbuatan Nabi ini menunjukkan betapa perjanjian yang telah disepakati harus dipatuhi dan tidak boleh.


0 komentar:

Posting Komentar