Perang adalah sesuatu yang sangat tidak di sukai manusia. Al-Qur’an juga men mengatakan hal demikian. Ketika menyebutkan perintah perang Al-Quran sudah menggaris bawahi bahwa perang merupakan sesuatu vang sangat dibenci manusia.. Namun begitu, Al-Quran juga menyatakan bahwa boleh jadi dibalik sesuatu yang tidak disukai itu terdapat kebaikan yang tidak diketahui manusia. Sebaliknya, boleh jadi pula, sesuatu yang disenangi manusia ternyata membawa petaka bagi hidup mereka (Al- Baqarah, 2:26).
Karena itu, peperangan hanyalah dibolehkan dalam situasi yang sangat terpaksa. seperti diuraikan sebelumnya, Islam, sesuai dengan namanya, adalah agama perdamaian dan berusaha membawa manusia ke dalam kedamaian, kesejahteraan dan rahmat-Nya. Kedamaian ini tergantung pada kesediaan manusia untuk tunduk dan taat pada ajaran-ajaran-Nya yang tertuang di dalam Islam. Siapa saja yang akan menghadap kepada-Nya dan mengharap petunjukNya, pasti akan diberkati-Nya dengan kedamaian, kebahagiaan dan kesempurnaan.
Namun tidak semua manusia dapat menerima kebenaran Islam. Karena pengaruh hawa nafsu, ambisi dan hal-hal lain yang bersifat duniawi, sebagian manusia menolak kebenaran Islam, Allah dan RasulNya tidak mempermasalahkannya. Sebab, masalah iman ini adalah otoritas Allah semata yang tidak bisa "diintervensi" oleh manusia. Namun kalau penolakan tersebut diiringi dengan sikap benci, permusuhan, gangguan, ancaman, dan segala bentuk yang menghambat perkembangan Islam hal ini tidak dapat lagi ditolerir. Apalagi kalau sudah menjurus kepada bentuk teror, intimidasai, tekanan fisik, dan ancaman terhadap keselamatan jiwa umat-Nya, maka Allah memerintahkan umat Islam untuk membela diri.
Allah menegaskan bahwa hidup manusia adatah suci dan tidak ada seorang pun yang berhak menumpahkan darah sesamanya. Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, seolah-olah ia telah membunuh seluruh manusia (Al-Maidah, 5:32). Karena itu, keselamatan dan kelangsungan hidup manusia mutlak harus dipertahankan. Dalam Haji Perpisahan (Haji Wada), Nabi pun menegaskan bahwa darah dan harta manusia adalah suci sampai ia bertemu Tuhannya. Berdasarkan hal ini pula para ulama usul fiqh merumuskan bahwa pemeliharaan jiwa dan harta manusia berada pada tingkat daruriah, yang harus dipertahankan.
Kalau darah manusia sudah dianggap tidak berharga dan umat Islam diperangi, maka tidak ada kedamaian lagi dalam kehidupan. Oleh karena itu, Allah mewajibkan Umat Islam untuk bangkit membela diri menghadapi musuh. Umat lslam wajib membalas serangan mereka. Haram hukumnya bagi umat Islam berdiam diri dan menerima perlakuan tersebut begitu saja. Islam memang mencintai perdamaian, namun kemerdekaan dan kehormatan umat Islam adalah lebih berharga dari perdamaian itu sendiri. Dalam hal inilah Allah memerintahkan perang kepada umat Islam
Artinya : Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu (QS. Al-Hajj, 22 : 39)
Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw., Ali Wahbah menyimpulkan tiga kelompok manusia yang boleh diperangi dalam Islam, yaitu:
1. Orang-orang musyrik yang memulai perang terhadap umat Islam. Dalam surat al-Baqarah di atas, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menghilangkan permusuhan kepada pihak lain. Karena itu, bila ada pihak musyrik yang memulai Permusuhan, Allah memerintahkan umat Islam agar membalas memerangi mereka. Dalam sejarah Islam terkenal permusuhan yang dilakukan kaum paganis Quraisy Mekah kepada Nabi Muhammad dan umat lslam, sehingga Nabi Islam membalas memerangi mereka pula.
2. Pihak yang membatalkan perjanjian secara sepihak. Kalau ada pihak yang mengadakan Pakta Perianjian dengan kaum muslimin, lalu 'mereka mengkhianatainya, maka mereka halal diperangi. Hal ini dapat dirujuk pada perjanjian (Piagam Madinah) yang dibuat Nabi bersama kaum Yahudi Madinah. mereka terdiri dari Bani Nadir, Bani Qainuqa' dan Bani Quraiza. Tetapi mereka melakuan Pengkhianatan dan mengganggu kehidupan umat Islam di Madinah. Akhirnya, sebagai balasan atas pengkhianatan mereka, Nabi menghukum mereka dengan hukuman yang setimpal.
3. Musuh-musuh Islam yang mengadakan persekutuan untuk menghancurkan Islam dan umatnya, sebagaimana terjadi dalam Perang Ahzab (Perang Khandaq). Dalam perang ini kaum paganis Mekah mengadakan komplotan dengan penduduk di sekitar Mekah dan kaum Yahudi Madinah untuk memerangi urnat Islam' Menghadapi serangan sekutu ini) Nabi, atas saran Salman al-Farisi, membangun parit-parit perlindungan untuk membentengi Madinah. Akhirna tentara sekutu bubar dan pulang kembali ke tempat mereka masing-masing tanpa membawa hasil. Mereka ini wajib diperangi.
Selain tiga kelompok di atas, ada lagi kelompok yang boleh diperangi dalam Islam. Mereka adalah orang-orang yang sengaja mengganggu dan menghalangi dakwah Islam. Dalam sejarah, Nabi pernah mengirimkan utusan dakwahnya ke daerah Syam yang saat itu dikuasai Romawi. Akan tetapi misi dakwah Nabi itu berjumlah 50 orang diserang dan dibunuh. Demikian pula dengan 15 orang da’i yang dikirimkan Nabi ke dhat al-Talh. Mereka dibunuh, kecuali hanya seorang pimpinannya saja yang selamat melarikan diri. Kasus ini merupakan casus belli (peristiwa yang menyebabkan dibolehkannya melakukan peperangan) terhadap Rowawi. Oleh karena itu, Nabi mengirimkan pasukan untuk membalas kejahatan mereka terhadap utusan beliau. Akhirnya pasukan musli dan Romawi bertempur di medan perang Mu’tah.
1. Kewajiban Perang
Secara umum, perang adalah fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada sebagian orang yang dapat berperang. Tapi kalau sebagian orang yang berperang telah berhasil mengusir musuh atau perang berakhir dengan perjanjian, maka kewajiban tersebut gugur atas kaum muslimin lainnya.
Sebenarnya kewajiban perang tersebut bukan hanya dalam Pengertian berada di front pertempuran, melainkan juga scgala bentuk yang dapat mendukung kemenangan tentara muslim. Karena itu, orang-orang yang lemah seperti buta, tua jompo, anak-anak dan wanita, kalau mempunyai kelebihan ekonomi, wajib "berperang" membantu tentara muslim dengan keuangan yang mereka miliki. Untuk wanita dan anak-anak, tentu saja harus terlebih dahulu mendapat izin dari suami atau orang tua mereka.
2. Etika Perang
Watak Islam sebagai agama yang damai menganjurkan perang un tuk tujuan-tujuan defensif tetlihat dalam beberapa etika perang yang digariskan Al-Quran dan contohkan oleh Nabi Muharnmad serta para pelanjutnya. Hal yang pertama harus dilakukan sebelum Perang adalah mengumumkan perang terhadap musuh. Sebagian ulama memandang, pengumuman perang ini sebagai suatu kewajiban atas pemerintah dar al- Islam. Pendapat ini dianut oleh Imam Malik dan mazjrab Syi'ah Zaidiyah. Menurut rnereka, pemerintah Islam harus terlebih dahulu menyampaikan dakwah,baik kepada musuh maupun tidak.Pendapat ini didapatkan pada amanat Nabi kepada komandan pasukan yang akan berperang. Beliau berpesan bahwa sebelum memerangi orang musyrik, terlebih dahulu mereka harus diseru masuk Islam. Kalau menolak, mereka boleh tetap pada kepercayaannya, tetapi harus membayar jizyah sebagai jaminan atas keamanan mereka. Bila ini juga mereka tidak, berarti hal ini merupakan "ajakan" perang. Dalam kondisi inilah umat Islam boleh memerangi mereka.
Pendapat kedua, dari mazhab Hahbali, yang menyatakan bahwa pengumuman perang itu tidak wajib dilakukan. Hal ini dirlasarkan, pada sejarah bahwa Nabi menyerang Bani Mustaliq tanpa terlebih dahulu memberitahukannya. Penyerangan ini bermula ketika Bani Mustaliq, di bawah pimpinan al-Harits ibn Abi Dzirar, mengadakan makar hendak membunuh Nabi. Namun rencana mereka tercium oleh Nabi. Menghadapi mereka, Nabi segera mengirimkan pasukan di bawah komando Abu Bakr dan Sa’ad ibn ’Ubadah.Demikian juga dengan Peperangan melawan suku-suku Yahudi Madinah. Mereka dikepung dan diisolasi sehingga menyerah kepada Nabi.
3. Fakta Perjanjian
Sebagaimana diungkapkan di atas, adanya hubungan diplomatik antara satu negara dengan negara lainnya diawali oleh penandatanganan pakta perjanjian. Sebelum dirumuskannya Konvensi Wina mengenai Pakta Perdamaiain 1959, Nabi dan sahabat telah mempraktikkan bagaimana dar al-Islam harus tunduk dan patuh pada pakta perjanjian yang. Telah disepakati dengan negara lain. Pakta perjanjian damai yang pertama kali dilakukan Nabi dalam sejarah Islam adalah Perjanjian Hudaibiyah dengan pihak Quraisy Mekah pada tahun 6 H.
Bila dilihat sepintas, perianiian ini timpang dan merugikan umat Islam, terutama pasal dua yang mengharuskan ekstradisi secara sepihak. Namun Nabi Muhammad Saw., sebagaipihak yang telah menandatangani perjanjian Hudaibiyah ini tidak punya pilihan kecuali mematuhi dan melaksanakannya. Tidak lama setelah ratifikasi perjanjian ini, Abu Jandal, putra Suhail -delegasi kaum Quraisy Mekah yang menandatangani perjanjian yang telah memeluk Islam, datang berlutut kepada Nabi dengan keadaan tangan terbelenggu, untuk minta perlindungan dari perlakuan kasar dan siksaan orang Quraisy terhadap dirinya. Suhail bersi keras mengherrdaki agar anaknya di.rerahkan kembali ke Mekah, sesuai dengan perjanjian yang baru saja disepakati. Umar sendiri bermohon kepada Nabi agar melindungi Suhail. Namun Nabi tetap pada pendiriannya menghormati perjanjian dan tidak dapat melindungi Abu Jandal. Akhimya Abu Jandal diesktradisi ke Mekah. Dari dimensi hukum internasional, perbuatan Nabi ini menunjukkan betapa perjanjian yang telah disepakati harus dipatuhi dan tidak boleh.
4. Penyerahan Pemohon Suaka
Sering terjadi dalam hubungan internasional, negara asal pelarian politik meminta kepada negara yang memberi suaka supaya pelarian tersebut diserahkan (diekstradisi) kembali ke negara asalnya. Dalam hal ini, pelarian tersebut tidak dapat dikembalikan ke negara asal tersebut, kecuali ada perjanjian sebelumnya antara kedua negara tentang ekstradisi. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhamamad Saw, selaku kepala Negara Madinah pernah mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Quraisy Mekah. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah penyerahan kembali penduduk Mekah yang melarikan diri ke Madinah meminta perlindungan kepada Nabi, karena mereka telah memeluk Islam dan disiksa di Mekah. Namun demi menghormati perjanjian ini, Nabi tidak dapat memberikan perlindungan kepada mereka, dan mereka terpaksa dikembalikan ke Mekah.
Menurut Ali Ali-Mansur, untuk menyerahkan kembali ke negara asal orang yang meminta perlindungan di dar al-Islam, haruslah dipenuhi empat syarat. Pertama, kejahatan yang dilakukannya bersifat subversif dan sangat membahayakan negara. Kedua, baik negara asal maupun negara pemberi suaka sama-sama memandang bahwa kejahatan yang dilakukan peminta suaka harus di hukum dengan ancaman hukuman.
Suaka politik jenis pertama mendapat jaminan dalam hukum internasional. Setiap negara berhak memberikan perlindungan poliyti kepada warga negara asing. Negara asal pencari suaka tersebut hanya dapat mengajukan permohonan pengembalian atau ekstradisi melalui saluran – saluran diplomatik. Sedangkan terhadap suaka politik jenis kedua (diplomatic asylum), hukum internasional tidak mengakui adanya hak kepala perwakilan suatu negara (duta besar) untuk memberi jaminan ini menyebabkan terbebasnya ia dari hukum dan keadilan di negara asal menyerahkan orang yang minta suaka kepada pemerintah setempat, bila tidak ada perjanjian antara kedua negara yang mengharuskannya untuk menyerahkannya pencari suaka tersebut (ekstradisi).
Ada perbedaan prinsip dalam pemberian suaka ini. Dalam suaka teritorial, kekuasaan yang memberikan suaka merupakan hak dan atribut kedaulatan negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam suaka ekstra teritorial, kekuasaan memberikan suaka mengesampingkan kedaulatan teritorial negara. Artinya, seorang duta besar boleh memberikan perlindungan di gedung kedutaan besarnya kepada pemohon suaka, tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada kepala negaranya. Dalam hal ini ia berkuasa penuh menentukan layak tidaknya seseorang diberikan perlindungan.
Di samping dua suatu di atas, masih ada lagi bentuk suaka politik, yakni suaka netral (neutral asylum). Dalam suaka bentuk ini, pemohon suaka tidak memasuki kedutaan asing atau lari kesuatu negara, tetapi ia memilih tempat perlindungan ke gedung lembaga-lembaga internasional, seperti perwakilan PBB di Jakarta, atau gedung Sekretariat ASEAN. Ia meminta suaka kepada pejabat lembaga-lembaga tersebut.
5. Pandangan Ulama tentang Suaka Politik
Pandangan ulama mengenai masalah suaka politik berpangkal dari pembagian mereka tentang dua negara (dunia), yaitu dar al-harb dan dar al-Islam, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Disamping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan internasional. Dari pembahasan mereka tentang hal ini, ulama kemudian merumuskan pendapat mengenai warga negara yang meminta suaka politik ke dar al-Islam.
Pada prinsipnya, Islam tidak menghalangi penduduk dari dar al-harb untuk minta perlindungan (suaka) ke dar al-Islam. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Al-Quran surat al-Tawbah, 9:6. Abu Hanifah ayat ini menjelaskan bahwa kalaiu ada orang musyrik yang datang memohon suaka, maka ia harus diterima dan dilindungi. Setelah itu, ia dapat dikembalikan ke daerah yang aman bagi jiwanya. Keizinan untuk mendapat suaka dari dar al-Islam hanya berlaku untuk beberapa waktu tertentu saja.
Namun para ulama berbeda pendapat tentang berapa lamanya waktu mereka boleh menetap di dar al-Islam. Abu Hanifah dan sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa keizinan tinggal bagi pemohon suaka hanya berlaku selama setahun saja. Sedangkan Syafi’i bulan saja, kecuali bila kepada negara memandang perlu untuk memperpanjang izin tinggalnya. Sementara Malik berpendapat bahwa keizinan tinggal mereka tidak dibatasi oleh waktu.
0 komentar:
Posting Komentar