Sabtu, 08 Januari 2011

Suaka Politik Islam

Suaka politik atau asylum perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada orang asing yang terlibat perkara/ kejahatan politik di negara lain atau negara asal permohonan suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karena tuntutan hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Setiap negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik.

Macam-macam suaka politik
Dalam hubungan internasional, suaka politik dapat dibedakan menjadi suaka wilayah (territorial asylum) dan suaka diplomatik (diplomatic asylum). Dalam penyerahan pelarian politik ini, juga terdapat perbedaan antara penyerahan ke dar al-islam dan ke dar al-harb. Kalau yang memohon ekstradisi adalah negara islam juga, maka ia dapat diserahkan kembali ke negara asalnya. Penyerahan ini tidak memandang apakah pelarian itu muslim atau bukan. Akan tetapi, kalau negara yang memohon adalah dar al-harb, maka pelarian tersebut tidak boleh dikembalikan ke dar al-harb. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah, 60:10 yang melarang umat islam mengembalikan wanita-wanita muslimah yang meminta suaka kepada dar al-Islam (Negara Madinah) ke dar al-harb, walaupun mereka memiliki keluarga disana.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka…..(QS. Al-Mumtahanah, 60:10).

Perbedaan pendapat terjadi ddalam masalah pengembalian pria muslim ke dar al-harb setelah adanya perjanjian ekstradisi. Menurut Ahmad Ibn Hanbal dan sebagian pengikut Malik, perjanjian harus dilaksanakan dan pria muslim tersebut harus dikembalikan ke dar al-harb, negara asalnya. Pendapat ini dilandasi oleh praktik ekstradisi yang dilakukan oleh Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah, sebagaimana diunngkapkan di atas. Sedangkan Abu Hanifah dan sebagian pengikut Mahzab Maliki lainnya berpandangan bahwa syarat perjanjian tersebut batal dan pria Muslim pencari suaka tersebut di kembalikan ke dar al-harb. Sementara mahzab Syafi’i berpendapat bahwa penyerahan pemohon suaka ke negara asalnya bergantung apakah ia memiliki keluarga atau tidak di dar al-harb tersebut. Kalau ia memiliki keluarga maka ia dapat di ekstradisi. Tapi kalau ia tidak mempunyai keluarga disana, ia tidak dapat dikembalikan. Pertimbangannya adalah bahwa keluarganya merupakan pihak yang peling bertanggung jawab atas jaminan keselamatannya. Dengan demikian keluarganya akan membela dan memperjuangkannya agar ia tidak diperlakukan semena-mena dan diproses secara adil. Sedanngkan kalau ia tidak memiliki keluarga di dar al-harb, kemungkinan jiwanya tidak akan aman dan ia akan mengalami ketidak adilan.


2 komentar:

http://caramaster.blogspot.com/ mengatakan...

suaka dalam islam ada dalam ayat 90 surah An-Nisa

resep mengatakan...

semoga suatu saat politik Indonesia bernuansa islami

Posting Komentar