Selasa, 23 November 2010

Agama dan IPTEK

1. Pengertian
Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.
Dalam membahas peranan agama dalam pengembangan iptek nasional ini, saya tidak akan berbicara secara teoritik umum. Mengingat iptek yang kita bicarakan adalah iptek dalam konteks nasional, maka peranan yang dimainkan oleh agama dalam hal ini pun berada dalam konteks nasional pula. Dengan demikian, pertanyaan yang ingin saya jawab dalam bagian ini adalah: Bagaimanakah peran yang diharapkan oleh bangsa Indonesia dari agama dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional?
Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c) tidak bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler. Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.

2. Tinjauan Islam dalam Iptek
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya 23 tusukan per menit (Qardhawi, 1997). dunia hanya perlu waktu beberapa menit saja untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno), orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam.
Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan membahayakan kehidupan dan martabat manusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik (Kompas, 16/01/1995). Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri (Hadipermono, 1995). dapat digunakan untuk mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja (Bakry, 1996). Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. tidak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, perjudian.
Di sinilah, peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk dilihat kembali. Dapatkah agama memberi tuntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, seraya mengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islam dapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma (Lihat Yahya Farghal, 1990: 99-119):
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-din ‘an al tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan). Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa dalam al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qa’idah fikriyah pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001). Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini kita pahami dari ayat yang pertama kali turun (artinya) : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah Saw telah meletakkan Aqidah sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang tertera dalam al-Qur`an:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah hasil prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700 – 1400 M.

3. Solusi Islam dalam Iptek
Islam adalah satu-satunyanya agama samawi yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Perhatian ini dibuktikan melalui turunnya wahyu pertama QS al-Alaq 1-5. Sebagian mufasirin menyatakan bahwa ayat tersebut sebagai proklamasi dan motifasi terhadap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kita harus memberikan skala prioritas yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kita akan terus daitur, dijajah, dan di dekte oleh bangsa lain yang lebih tinggi kemajuan ipteknya. Dengan kemajuan iptek kita dapat menyejahterakan kehidupan umat manusia, dan mengelola alam dengan baik.
Menarik sekali apa yang dinyatakan oleh seorang cendekiawan Muslim, Isma’il Raji Al-Faruqi dalam bukuya yang berjudul Tauhid yang berbicara ilmu pengetahuan dari sudut pandang tauhid. Menurutnya, sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip. Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas/kenyataan. Prinsip ini meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam dan menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki. Penyimpangan dari realita sudah cukup untuk membatalkan suatu item dalam Islam, apakah itu tentang hokum, etika, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum Muslimin dari opini dan pernyataan yang tidak teruji dan tidak bisa dikonfirmasikan baik dalam segi ilmu pengetahuan maupun yang lainnya. Oleh karena itu, seorang muslim dapat didefinisikan sebagai orang yang tidak menyatakan apa-apa kecuali kebenaran sekalipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menyembunyikan dan mencampuradukkan kebenaran dan kesesatan dalam Islam sangat dibenci dan juga dikutuk.
Prinsip kedua adalah penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki. Prinsip ini melindungi kaum Muslimin dari kontradriksi di satu pihak dan dari paradox di pihak lain. Islam mengajarkan bahwa pasti ada jalan keluar dari kontradiksi dan sebaik-baik solusi adalah solusi yang ditawarkan oleh Alloh SWT dalam wahyu-Nya. Hal yang sama berlaku jika terjadi kontradiksi antara wahyu dan akal. Jika kasusnya demikian, Islam menyatakan bahwa kontradiksi tersebut tidaklah ultimat. Dalam hal ini Islam menyarankan agar penyelidik meninjau kembali pemahamannya atas wahyu, atau penemuan-penemuan ilmiyahnya atau kedua-duanya.
Adapun prinsip yang ketiga adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan bukti yang baru atau yang bertentangan. Prinsip ini mendorong kaum Muslimin kepada sikap rendah hati intelektual. Ia memaksa untuk menyantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan Wallohua’lam (Alloh yang lebih tahu) karena dia yakin bahwa kebenaran adalah milik Alloh dan lebih besar dari yang dapat dikuasainya. Alloh adalah pencipta alam yang mana manusia memperoleh pengetahuannya. Obyek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya-Nya. Alloh mengetahui secara pasti, sebab Dia-lah penciptanya dan sumber wahyu. Dia memberikan kepada manusia sebagian dari pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah mutlak dan universal.
Membahas masalah ilmu pengetahuan dalam Islam berarti kita membicarakan kedudukan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam serta pemberdayaan ilmu pengetahuan untuk kepentingan dakwah Islam. Islam mengajarkan kepada kita memikirkan ayat-ayat Allah baik ayat Qouliyah (Al Quran dan Sunnah) maupun ayat-ayat Kauniyah (fenomena alam semesta), dimana di dalamnya syarat muatan multi iptek. Dalam Al-Quran juga banyak kita jumpai ayat-ayat yang menyuruh kita untuk mempelajari, meneliti, dan memperhatikan ilmu pengetahuan. Imam Al Ghazali telah melakukan penelitian terhadap dalil dalil Al-Quran dan Sunnah sebagai hukum formal, dan sampai pada satu kesimpulan bahwa, dalam kitab Al Quran terdapat 250 ayat tentang masalah legislatif, dan terdapat 763 ayat atau 12 % dari jumlah ayat Al Quran yang langsung berhubungan dengan ilmu pengetahuan (Sidi Gazalba: 1970, hlm. 155).Belum lagi tentang Hadits-hadits yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Terdapat banyak Hadits yang diriwayatkan dari berbagai sumber tentang perlunya menuntut ilmu serta manfaat-manfaatnya.
Demikian pula kita diperintahkan untuk mengamati bagaimana langit ditinggikan. Artinya, kita harus mempelajari ilmu tentang kosmologi, ilmu alam, astronomi, fisika, dan lain-lain. Kemudian kita juga disuruh memikirkan tentang bagaimana gunung-gunung ditegakkan. Maknanya kita juga diperintahjkan untuk mempelajari ilmu bumi, geofisika, geologi, dan lain-lain yang kesemuanya itu termasuk dalam sains modern.
Di dalam Al-Quran juga disebutkan kata ‘ilm’ dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian yang luar biasa dalam Islam. Sebagai bukti bahwa Al Quran mempunyai muatan ilmu pengetahuan, antara lain: teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) Qs. Adz Dzariyat/51:4. Matahari adalah planet yang bercahaya, sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya matahari (QS Yunus/10:5). Zat hijau daun (Chlorofil) yang berperan mengubah tenaga radiasi matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis, sehingga menghasilkan energy (Qs Yasin/36:30). Bahwa manusia diciptakan dari sari tanah berupa sperma laki laki dan setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (Qs At Thoriq/86:6-7, dan QS Al Lail/92:2). Disamping itu masih banyak lagi paradigma sains yang diungkap dalam Al Quran sebagaimana ditulis Prof. Dr. Syeikh Thanthawi Jawhari dalam bukunya Al Quran Wa Ulumul Asyriyyah ( AlQuran dan ilmu Pengetahuan Modern). Oleh karena itu, Dr Maurice Bucale dalam bukunya La Bible Le Coran et La Science (Al Quran, Bibel, dan sains Modern) dalam kesimpulannya menyatakan bahwa Al Quran mempunyai pernyataan-pernyataan ilmiyah.
Dalam perkembangan sejarah Islam, Al Quran juga mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini terbukti dengan prestasi spektakuler yang diraih oleh ilmuwan Islam di masa silam. Disebutkan bahwa selama 3,5 abad berturut-turut dari abad ke 8 sampai 12 M, para ilmuwan Islam telah berhasil menempati jenjang terhormat dan menciptakan dasar-dasar ilmu pengetahuan pada masa keemasan Islam,


4. Solusi Islam dalam menghadapi perkembanga Iptek
Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak.] Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu :


Paradigma Konservatif
Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan.
Bagi orang-orang Islam berpaham konservatif ini, “ketidakberubahan” (unchangingness) merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. “Ketidakberubahan” merupakan asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini.
Doktrin “ketidakberubahan”, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita, barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan “nenek moyang” sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya. 2.



Paradigma Liberal
Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal.
Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis “larangan” demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Qur’an dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.
Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini sebenarnya berakar pada ide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berpikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama, pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain.
Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Argumentasi yang sering dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2) Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misal dalam suksesi kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara Islam!" dan sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan pemerintahan.
Paradigma Alternatif
Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam, meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman.
Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai tauhid harus “membumi” dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya.
Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

0 komentar:

Posting Komentar