Menurut Abdullah bin Umar al-Baidhawi, defenisi Ushul Fiqh yang dikemukakan di bagian awal pembahasan ini dapat dipaparkan tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam Ushul Fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat dan tentang ijtihad. Kajian tentang hukum (al-hukm) oleh abdullah bin Umar al-Baidhawi diletakkan pada bagian pendahuluan. Sedangkan Imam abu Hamid al-Ghazali (450-505 H), ahli Ushul Eiqh dari keluarga Syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan, melainkan pada bagian pertama dari amsalah-masalah pokok yang akn dibahas dalam ushul eiqh. Berpegang kepada pendapat al-ghazali tersebut, maka objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :
(1) Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih,
(2) Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum,
(3) Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber dan dalil-dalil itu, dan
(4) Pembahasan tentang ijtihad.
Secara global, muatan kajian Ushul fiqh seperti dijelaskan di atas menggambarkan objek bahasan Ushul Fiqh dalam berbagai literatur dan aliran, meskipun mungkin terdapat perbedaan tentang sistematika dan jumlah muatan dari masing-masing bagian tersebut.
Meskipun yang menjadi objek bahasan Ushul Fiqh ada empat seperti dikemukakan diatas, namun Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi Ushul al-Fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian Ushul Fiqh adalah tentang dua hal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syara’). Selain dua hal tersebut dipaparkan, oeh ulama Ushul Fiqh hanya sebagai pelengkap.
Dalil-dalil syara’ dikaji dari segi tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya al-Quran adalah kitab suci dan menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat di dalam Al Quran menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i). Lafal umum yang sudah ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhanni). Dalam contoh-contoh di atas, Al Quran dikaji dari segi kepastian pengertiannya menunjukkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian pengertiannya menunjukkan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakshshish sebagian cakupannya dikaji dari segi ketidak pastian penunjukkannya terhadap sisa cakupan penngertiannya mengenai hukum.
Begitulah setiap teks ayat atau hadits dalam berbagai macam bentuk dan karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian, hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil syara’. Dari sisi ini kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang menajdi objek bahasan ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya, segi bagaimana tetapnya suatu hukum dengan dalil. Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu dikemukakan secara global, tanpa masuk kepada rinciannya, karena rinciannya seperti dikemukakan sebelumnya dibahas dalam ilmu fikih oleh mujtahid.
0 komentar:
Posting Komentar