1. Pengertian Maslahah al-Mursalah
Kata al-Muslahah semakna dan setimbangan dengan kata al-manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-Maslahah merupakan bentuk mufrad yang jamaknya al-Mashalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa al-Maslahah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik dari cara mengambil atau melakukan suatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemudhratan dan kesulitan.15
Menurut al-Buthi, al-Maslahah adalah :
المصلحة : المنفعة التى قصد ها الشاع الحكيم العباده من حفظ دينهم ونفو سهم و عقو لهم ونسلهم وأمو الهم طيق تر تيب فيما بينها
Al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syari’ untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu di antaranya.16
Dari defenisi ini tampak yang menjadi tolak ukur al-Maslahah adalah tujuan-tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syari’ meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan manusia yang seringkali berlandaskan pada hawa nafsu semata.
2. Tingkatan Maslahah
Pada ahli Ushul Fiqh membagi maslahah kepada tiga tingkatan:
a. Al-Maslahah ad-Dharuriyyat
Al-Maslahah ad-Dharuriyyat adalah suatu bentuk kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan ini sangat penting, karena apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan itu meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta.
b. Al-Maslahah al-Hajiyat
Al-Maslahah al-Hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan kesulitan yang dihadapi. Termasuk kemaslahatan ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya. Misalnya, keringanan berupa meringkas shalat (qashar) dan terbuka puasa bagi orang yang musafir.
c. Al-Maslahah al-Tahsiniyat
Al-Maslahah al-Tahsiniyat adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan dhariyat dan hajiyat. Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Seandainya kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam kehiduan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahatan ini tetap penting dan dibutuhkan manusia. Misalnya, keharusan bersuci dalam ibadat, menutup aurat dan memakai pakaian indah dan bagus.
3. Pendapat tentang al-Maslahah al – Mursalah
Sebagian ulama tidak menjadikan al-Maslahah al – Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum dengan beberapa alasan :
1. Penggunaan al-Maslahah al – Mursalah akan membuka peluang bagi penguasa dan para hakim untuk menetapkan hukum sesuai keinginan dan hawa nafsu mereka.17
2. Bahwa syari’at Islam memelihara semua kemaslahatan manusia melalui ketentuan yang terdapat dalam nash dan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas. Syari’ tidak membiarkan manusia mengalami kesulitan dalam kehidupannya dan tidak satupun kemaslahatan manusia melainkan ada dalil yang ditetapkan syari’ untuk merealiasasikannya. Atas dasar ini, semua kemaslahatan yang tidak didukung syari’ melalui dalil nash untuk mewujudkannya, maka bukan termasuk kemaslahatans ejati, kemaslahatan yang tidak didukung syari’ melalui dalil nash untuk mewujudkannya, maka bukan termasuk kemaslahatan sejati. Kemaslahatan seperti ini hanya didasarkan pada praduga semata yang tidak boleh dijadikan sebagai penetapan tasyi’i.18
3. Pada dasarnya al-Maslahah al-Mursalah berada di antara dua posisi, yaitu maslahat yang dilarang syar’i mengambilnya dan maslahat yang diperintahkan syar’i mengambilnya. Apabila memang boleh memakai al-Maslahah al-Mursalah yang terkait dengan maslahat (mu’tabarah) yang diperintahkan syar’i mengambilnya, tentu boleh pula memakai al-Maslahah al-Mursalah yang terkait dengan maslahat (mulghah) yang dilarang syar’i mengambilnya. Mengingat posisi al-Maslahah al-Mursalah seperti ini, maka ia tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum.19
4. Mengambil al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum akan merusak kesatuan dan keumuman tasyi’ Islam. Dengan al-Maslahah al-Mursalah akan terjadi perbedaan hukum karena perbedaan situasi, kondisi dan ornag seiring dengan pergantian maslahat setipa waktunya.20
Ulama yang tidak menerima al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil menetapkan hukum di antaranya ulama Hanafiyah. Sebagian ulama menilai Imam Syafi’i termasuk ulama yang menolak penggunaan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil karena ketegasannya menolak istihsan dalam pandangan Imam Syafi’i didasarkan atas maslahah.21
Sementara itu sebagian ulama menerima dan menggunakan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil menetapkan hukum. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik dan Imam Ahmad. Penggunaan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil didasarkan pada sejumlah alasan berikut :22
1. Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Hal ini dapat diamati dari sejumlah firman Allah di antaranya surat Al-Maidah ayat 5-6 yang artinya :
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa semua perintah agama bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat Islam yang melaksanakannya, seperti masalah wudhu’ dan yang membatalkan dalam ayat ini, tetapi ditujukan untuk kemaslahatan orang yang melaksanakannya.
Begitupula ibadah yang sering diperintahkan Allah untuk dilaksanakan setiap mukallaf bertujuan mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupannya
Demikian pula dengan kebolehan bagi orang yang berada dalam keadaan darurat atau terpaksa mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan, seperti dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 4 berikut:
فمن اضطر في مخعضة غير متجا نف لإ ثم فإن الله غفور رحيم
Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Kebolehan memakan dan mengkonsumsi sesuatu yang haram dalam batas tertentu sebagai upaya Islam mewujudkan dalam bentuk pemeliharaan jiwa.
2. Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia tersebut. Apabila kemaslahatan ini tidak diperhatikan dan diwujdukan tentu manusia akan mengamali kesulitan dalam kehidupannya. Karena itu, Islam perlu memberikan perhatian terhadap berbagai kemaslahatan manusia tersebut dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam syariat Islam.
3. Bahwa syari’ menjelaskan alasan (‘illat) berbagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tertentu. Apabila hal ini dapat diterima, maka ketentaun seperti ini juga berlaku bagi hukum yang ditetapkan berdasarkan al-Maslahah al-Mursalah . Misalnya, firman Allah surat Al-Maidah ayat 91 yang artinya :
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ‘Illat larangan meminum khamar dan judi karena menimbulkan kemudharatan kepada manusia seperti menimbulkan permusuhan dan kebencian, menghalangi manusia dari mengingat Allah dan lalai melakukan shalat, maka meninggalkan perbuatan itu (khamar dan judi) merupakan kemaslahatan bagi manusia.
4. Dalam sejarah tasyri’ Islam terbukti sejak masa sahabat dan generasi sesudah mereka ternyata menggunakan maslahat rajihah (kuat) untuk menetapkan suatu hukum peristiwa. Padahal maslahat yang mereka jadiakan dasar untuk penetapan hukum tidak didukung oleh dalil yang memerintahkan untuk mewujudkannya. Praktek seperti ini tidak dibantah oleh seorangpun sahabat. Ini dapat dikatakan sebagai Ijma’ sahabat untuk menggunakan al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
4. Syarat Berhujjah dengan al-Maslahah al-Mursalah
Ulama yang menerima al-Maslahah al-Mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum menetapkan tiga syarat :
1. Bahwa kemaslahatan tersebut bersifat hakiki, bukan berdasarkan oraduaga semata. Tegasnya maslahat ini dapat diterima secara logika keberadaannya.
2. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqasid al-syari’ dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil qath’i. Dengan kata lain, kemaslahatan tersebut dengan kemaslahatan yang telah ditetapkan syari’.
3. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu tertentu atau sejumlah individu. Ini mengingat bahwa syariat Islam itu berlaku bagi semua manusia.
5. Beberapa Contoh Hukum Yang didasarkan al-Maslahah al-Mursalah
Banyak hukum Islam yang dirumuskan berdasarkan maslahat mulai dari periode sahabat, tabi’in, tabi’-tabi’in sampai periode imam-imam mazhab. Di antara contohnya adalah :
1. Abu Bakar Siddiq melalui pendekatan al-Maslahah al-Mursalah menghimpun lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran yang berserakan menjadi suatu mushaf.
2. Dengan berpegang pada prinsip al-Maslahah al-Mursalah Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua setelah wafatnya.
3. Berdasarkan pertimbangan al-Maslahah al-Mursalah pula Umar bin Khattab membuat undang-undang perpajakan, mengkondifikasikan buku-buku, membangun kota-kota, membuat penjara, dan menerapkan hukuman ta’zir dengan berbagai macam sanksi
4. Melalui pertimbangan al-Maslahah al-Mursalah Usman bin Affan menghimpun umat Islam untuk berpedoman kepada satu mushaf.
5. Dengan berpedoman kepada al-Maslahah al-Mursalah, Muaz bin Jabal mengambil baju buatan Yaman sebagai pengganti dari makanan dalam zakat buah-buahan.
6. Atas dasar al-Maslahah al-Mursalah, para fuqaha mazhab Hanafi dan Syafi’i serta sekelompok ulam Maliki membolehkan membelah perut seorang perempuan yang telah meninggal guna mengeluarkan janinnya, jika ada dugaan kuat bahwa janin tersebut keluar akan hidup.
0 komentar:
Posting Komentar