Al-Toyyib Khuderi al-Syayid, seorang ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir berpendapat bahwa bilamana syarat-syarat mujtahid tersebut di atas telah cukup pada diri seseorang, hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunnat) dan bisa pula haram.
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain (wajib dilakukan oleh seriap orang yang mencukupi syarat-syarat di atas) bilaman terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu ‘ain bilamana seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera pendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Melakukan ijtihad menjadi wajib kifayah jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bilamana satu di antara mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang lainnya.
Berijtihad hukumnya sunat apabila dalam 2 (dua) hal :
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan Fiqh iftiradhi (fikih pengandian).
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yakni :
1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash secara tegas (qath’i) baik berupa ayat atau hadis Rasullullah atau hasil ijtihad itu menyalahi ‘ijma. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal yang selain itu.
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang telah dijelaskan pada bagian syarat-syarat seorang mujtahd di atas. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu dan hukumnya adalah haram.
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain (wajib dilakukan oleh seriap orang yang mencukupi syarat-syarat di atas) bilaman terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu ‘ain bilamana seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera pendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Melakukan ijtihad menjadi wajib kifayah jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bilamana satu di antara mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang lainnya.
Berijtihad hukumnya sunat apabila dalam 2 (dua) hal :
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan Fiqh iftiradhi (fikih pengandian).
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yakni :
1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash secara tegas (qath’i) baik berupa ayat atau hadis Rasullullah atau hasil ijtihad itu menyalahi ‘ijma. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal yang selain itu.
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang telah dijelaskan pada bagian syarat-syarat seorang mujtahd di atas. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu dan hukumnya adalah haram.
0 komentar:
Posting Komentar