1. Pengertian Istishab
Kata istishab secara bahasa mengandung arti meminta ikut serta secara terus menerus. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H), tokoh fikih mazhab Hanbali istishab dalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubah kedudukannya.29 umpamanya, seseorang yang telah meyakini secara penuh bahwa ia telah berwudhu, dianggap tetap berwudhu’ selama belum ada yang membuktikan batal wudhu’nya. Sejalan dengan itu, keraguan seseorang tentang batak wudhu’ tanpa bukti yang nyata tidak bisa merubah kedudukan hukum wudhunya.
Istishab bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi bersandar pada dalil-dalil yang lain. Ia merupakan metode istinbat hukum yang berlandaskan pada dallil-dalil syara’ (nash) atau bersandar pada dalil akal. Atas dasar itu, sebagian ulama mengatakan pantas dan boleh dilakukan tarjih terhadap istishab.
2. Pembagian Istishab
Menurut Abu Zahrah, istishab terbagi kepada empat macam30, yaitu :
1. Istishab al-ibahah al-ashliyah. Istishab ini berlandasan pada prinsip bahwa hukum asalh sesuatu itu boleh (mubah).
2. Istishab al-baraah al-ashliyah. Adapun yang dimaksud dengan istishab ini adalah memberlakukan suatu ketentuan bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan taklif (beban) hukum sampai ada dalil yang merubah statusnya itu. Dengan kata lain, seseorang bebas dari tanggung jawab dan kesalahan selama tidak ada bukti yang merubah statusnya itu. Misalnya, seorang tertuduh bebas dari segala tuntutan sampai ada bukti nyata tentang tuntutan tersebut.
3. Istishab al-hukm, dalam pandangan ahli ushul fiqh, istishab ini adalah tetap berlakunya status hukum yang telah ada selama tidak ada dalil yang merubah. Sejalan dengan prinsip ini, hukum boleh atau terlarang tentang sesuatu tetap berlaku terus demikian sampai ada dalil yang mengharamkan untuk mubah (boleh) atau membolehkan untuk yang haram.31 contoh istishab ini dapat dilihat dalam masalah pemilikan rumah. Seseorang yang memiliki sebuah rumah atau harta bergerak seperti mobil ia tetap dianggap sebagai pemilik rumah dan mobilnya selama tidak ada bukti yang menunjukkan ada peristiwa yang merubah status hukumnya, seperti melalui jual beli atau telah dihibahkannya kepada orang lain.
4. Istishab al-Wasf. Menurut kalangan ushuliyun, istishab ini adalah menetapkan sifat yang telah ada sebelumnya sampai bukti yang merubahnya. Umpamanya, sifat hidup yang dimiliki orang yang hilang tetap berlaku bagi dirinya sampai ada bukti yang menunjukkan orang tersebut telah meninggal. Begitupula menetapkan air suci lagi mensucikan tetap berlaku selama tidak ada bukti yang merubah status hukumnya. Contoh lain, seseorang yang yakin telah berwudhu’ tetap dinyatakan berwudhu’ sampai ada bukti tentang batal wudhu’nya.
3. Kedudukan Istishab sebagai metode Istinhat Hukum
Para ulama berbeda pendapat tentang istishab sebagai dalil untuk mengintinbatkan hukum terhadap suatu peristiwa yang tidak dijelaskan dalil syara’. Kalangan mutakallimin memandang istishab tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa lalu harus didasarkan pada dalil. Begitupula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan akan datang harus pula berdasarkan dalil. Dalam konteks ini istishab bukanlah dalil sehingga menetapkan hukum masa lalu tetaplah berlaku terus untuk masa mendatang berlandaskan istishab masa dengan menetapkan hukum tanpa dalil.
Ulama mazhab Hanafi muta’akhirin menerima istishab sebagai hujah untuk menetapkan hukum yang ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang. Namun, istishab tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum yang akan ada. Berdasarkan penelitian mujtahid, suatu hukum yang telah berlaku, lalu tidak ada dalil yang membatalkan, mujtahid harus berpegang pada hukum yang berlaku.
Dalam kaitan ini, istishab hanya dapat dipakai untuk mempertahankan hukum yang telah ada selama tidak ada yang membatalkannya. Ia tidak dapat dipakai untuk menetapkan hukum yang baru.
Kalangan Malikiyah, Syafi’iyah Hanabilah, Zahiriyah dan Syi’ah menjadikan istishab sebagai dalil menetapkan hukum yang telah ada selama tidak ada dalil yang merubahnya. Menurut mereka, sesuatu yang ditetapkan pada masa lalu selama tidak ada yang merubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni maka hukum itu tetap berlaku karma diduga keras belum ada perubahan terhadapnya. Disamping itu, mereka memperkuat pendapatnya dengan ijma’ ulama yang menerima berbagai hukum yang dirumuskan melalui kaidah istishab.
0 komentar:
Posting Komentar