1. Pengertian Ijma’
Menurut Al-Amidi, ijma’ (احماع) secara bahasa mengandung dua pengertian yaitu : 4
1. Ijma’ berarti العزم على الشىء atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. ijma’ dalam pengertian ini dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus ayat 71 yang artinya :
“........karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)”
2. Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus. Ijma’ dalam arti ini dapat ditemukan pada firman Allah surat Yusuf ayat 15 , yang artinya :
“ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur “
Ijma’ dalam kedua makna dan ayat diatas hampir sama, letak perbedaan antar keduanya terdapat pada kuantitas orang yang berkekuatan hati. Pada pengertian pertama dan ayat pertama hanya mencakup satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua meliputi tekad atau kesepakatan kelompok.
Imam al-Ghazali dalam bukunya al-Mustashafa fi ‘Ilm Ushul mejelaskan, Ijma’ adalah :5
"عبار ة اتفاق امة مجمد خاصة على امر من الأ مور الدينية"
“kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”.
Dalam defenisi di atas, al-Ghazali menetapkan Ijma’ sebagai kesepakatan seluruh umat Muhammad atau umat Islam, bukan hanya khusus para ulama, tetapi termasuk masyarakat umum.
2. Rukun Ijma’
Para ulama menetapkan beberapa syarat yang menjadi rukun ijma’. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menentukan syarat atau rukunnya. Perbedaan tersebut diuraikan berikut ini :
1. Ada sejumlah mujtahid ketika berlangsungnya kejadian yang membutuhkan ijma’, karena ijma’ tidak akan terwujud bila yang melakukan ijma’ hanya seorang muhtahid saja.
2. Semua mujtahid dari berbagai golongan dan belahan dunia sepakat tentang hukum suatu masalah. Apabila kesepakatan itu hanya terwujud di kalangan sebagian mujtahid atau wilayah atau kelompok tertentu, seperti kesepakatan mujtahid Hijaz atau mujtahid Irak saja, maka kesepakatan tersebut tidak dapat disebut sebagai ijma’, karena ijma’ hanya tercapai melalui kesepakatan seluruh mujtahid.
3. Kesepakatan tersebut terwujud setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat tentang suatu masalah secara terang-terangan. Pendapat itu dikemukakan melalui ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang suatu masalah hukum atau melalui perbuatan dengan menetapkan putusan di pengadilan dalam kedudukannya sebagia hakim.
4. Kesepakatan tentang hukun suatu masalah berasal dari semua mujtahid secara utuh. Apabila kesepakatan berasal dari mayoritas mereka saja dan sebagian kecil mereka tidak menyetujuinya, maka ijma’ tidak dikatakan telah terwujud. Jadi kesepakatan mayoritas ulama semata tidak dapat dijadikan sebagai hujjah yang bersifat qath’i. Meskipun demikian, Jumhur ulama dalam hal ini memandang sah bila ijma’ berasal dari kesepakatan mayoritas mujtahid.6
3. Pembagian Ijma’
Memperhatikan cara munculnya kesepakatan ulama, maka ijma’ terbagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu :
1. Ijma’ sharid (tegas) atau lafzi, yaitu kesepakatan semua mujtahid dalam satu masa mengenai hukum tertentu secara tegas dan terbuka dengan mengemukakan pendapat, tulisan atau perbuatan sebagai pernyataan persetujuan terhadap kesimpulan tersebut. Jumhur ulama sepakat menerima ijma’ sharih tersebut sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Namun, ijma’ seperti ini apabila mengikuti persyaratan ijma’ sharih hanya mungkin terjadi pada masa sahabat, karena saat itu jumlah mujtahid relatif terbatas dan lingkungan tempat tinggal mereka berdekatan satu sama lain.7
2. Ijma’ sukuti, yaitu kesepakatan ulama dengan cara seorang atau beberapa mujtahid mengemukakan pendapat tentang hukum suatu masalah pada masa tertentu, lalu pendapat itu tersebar luas dan diketahi mujtahid lain, tetapi mereka diam tanpa komentar. Para ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti. Imam Syafi’i dan kalanga mazhab Maliki berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum. Menurut mereka, diamnya sebagian mujtahid tidak dapat dipastikan menunjukkan setuju, bisa saja hal itu terjadi karena takut pada penguasa yang mendukung pendapat tersebut, atau boleh jadi disebabkan segan, terhadap mujtahid senior yang mengemukkan pendapat.8
Sebaliknya kalangan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat ijma’ sukuti boleh dijadikan dalil hukum. Mereka beralasan, diamnya mujtahid dipandang sebagai persetujuan, jika mereka tidak setuju tentu saja mereka menentangnya dengan keras. Jadi diamnya mereka sebagai isyarat persetujuan. Meskipun begitu, ada pula sebagian kalangan Hanafiyah dan Hanabilah yang lain menilai diamnya sebagian mujtahid tidak dapat dipandang telah terjadi ijma’.
3. Ijma’ amali, yaitu kesepakatan para mujtahid atau ulama dalam mengamalkan perbuatan tertentu pada suatu masa. Amal para ulama ini menunjukkan terjadinya suatu ijma’ atau kesepakatan. Kesepakatan ini tidak menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada indikasi yang mendukungnya. Misalnya, Ubaidah al-Salmaniy menyatakan : “Para sahabat Nabi saw. sepakat untuk melakukan shalat empat rakaat sebelum Zuhur”. Dalam ijma’ ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa sahalat empat rakaat sebelum zuhur itu hukumnya wajib, tetapi hanya sunat sesuai kesepakatan mereka.9
4. Hukum Ijma’
Dalam penjelasan terdahulu dapat diketahui bahwa ijma’ ada yang sifatnya qath’i adl-dilalah dan ada pula dan ada pula yang sifatnya zhanni al-dilalah. Adapun ijma’ yang bersifat qath’i al-dilalah adalah ijma’ sarih sehingga tidak boleh menyalahinya. ijma’ seperti ini tidak boleh dilakukan ijtihad terhadapnya karena apa yang menjadi materi ijma’ tersebut telah menjadi hukum syara’ yang harus diikuti dan dilaksanakan. Sementara ijma’ yang bersifat zhanni al-dilalah adalah ijma’ sukuti. Hasil ijma’ ini boleh dan dimungkinkan untuk dilakukan ijtihad mengingat ijma’ tersebut hanya pendapat sekelompok mujtahid pada suatu masa.
0 komentar:
Posting Komentar