Dalam sejarah Islam, fiqh sebagai hasil ijitihad para ulama lebih dahulu popular dikalangan umat Islam dan dibukukan dalam sistem tertentu dibandingkan Ushul Fiqh. Perumusan fiqh dilakukan setelah nabi Saw. Wafat, yaitu periode sahabat. Sementara Ushul Fiqh sebagai sebuah metode istinbat, baru tersusun sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Namun, para ahli hukum Islam mengakui dalam prakteknya Ushul Fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh. Pendapat ini cukup logis mengingat seara metodologis, fiqh tidak akan hadir tanpa ada metode istinbat dan metode istinbat ini yang menjadi inti dari apa yang dinamakan dengan Ushul Fiqh.
Pemikiran tentang Ushul Fiqh telaha da pada sat perumusan fiqh. Para sahabat yang melakukan ijitihad melahirkan fiqh secara praktis mereka telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh, meskipun belum tersusun dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan para sahabat menerapkan kaidah-kaidah Ushul Fiqh berasal dari bimbingan Nabi saw. Mereka mengetahui dan mengikuti secara langsung praktek-praktek tasyri’ (pembentukan hukum) yang dilakukan Nabi saw. Mereka adalah sahabat-sahabat yang dekat dengannya dan senantiasa mendampingi dan menyaksikan langsung tata cara Nabi saw. Memecahkan peristiwa-peristiwa hukun yang dihadapi. Dengan latar belakang ini, para sahabat memahami dengan baik cara memahami ayat dan mengetahui pula tujuan pembentukan hukum.
Para sahabat merupakan orang-orang yang terpelihara dan kuat kemampaun bahasa Arabnya bahasa Al-Qur’an. Berbekal kemampuan ini, mereka mampu memahami teks-teks Al-Qur’an, Sunnah dan menggunakan qiyas sebagai metode pengembangan hukum melalui pendekatan substansinya. Banyak contoh sahabat yang memiliki kemampuan menguasai Ushul Fiqh dan menggunakannya dalam mengintinbatkan hukum. Diantara mereka adalah Umar ibn Khattab, Ibn Mas’ud dan Ali ibn Abi Thalib.
Umar Ibn Khatab selalu berijtihad dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip maslahat dengan mengendepankan semangat yang terdapat dalam teks-teks Al Quran dan Sunnah. Misalnya, Umar tidak membagikan tanah dari wilayah yang ditaklukan tentara Islam demi kemaslahatan penduduk setempat. Umar memandang tanah tersebut tidak termasuk harta ghonimah yang terdapat dalam ketentuan umum firman Allah surat al-Anfal ayat 41, artinya :
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”
Harta ghonimah yang dimaksudkan ayat tersebut adalah hata ghonimah yang dapat dipindahkan. Sedangkan daerah yang ditaklukan bukan termasuk harta ghonimah karena tidak dapat dipindahkan. Pertimbangan lain yang dipakai Umar, bnila seluruh daerah yang ditaklukan dibagi, tentu anak cucu penduduk setempat tidak akan mendapatkan tanah lagi untuk kelangsungan hidup mereka. Apabila tanah itu dibiarkan tetap berada pada tangan pemiliknya, maka dapat berguna untuk membiayai pertahanan negara dan menutupi anggaran negara melalui jizyah yang diwajibkan terhadap pemilik tanah tersebut. Namun, prajurit-prajurit Islam yang ikut serta dalam penaklukan daerah itu tidak setuju dengan pendapat Umar dan mereka memperdebatkan masalah tersebut selama tiga hari tiga malam. Pada hari ketiga, Umar menemui mereka dan menjelaskan kepada mereka firman Allah surat al-Hasyar ayat 7 untuk memperkuat pendapatnya :
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Setelah Umar menjelaskan maksud ayat ini kepada prajurit muslim, akhirnya mereka menyetujui pendapatnya. Apabila diperhatikan secara cermat, pada masa sahabat mereka mengistinbatkan hukum mula-mula dengan memperhatikan teks-teks Al Quran, kemudian Sunnah dan bila hukumnya tidak dapat ditemukan di kedua hukum tersebut, mereka melakukan ijtihad dan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan hasil kesepakatan mereka dikanal dengan sebutan ijma’ sahabat, atau melakukan ijtihad secara perorangan. Disamping berijtihad dengan metode qiyas, mereka juga menggunakan metode istislah yang berlandaskan dengan metode qiyas, mereka juga menggunakan metode istislah yang berlandaskan pada metode maslahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada dalil mendukung aatu menolaknya, tetapi mendukung pemeliharaan tujuan syari’at. Misalnya, menghimpun Al Quran dalam satu mushaf (naskah Al Quran).
Dari uraian di atas, tampak bahwa sahabat telah menggunakan metode tertentu dalam berijtihad, yaitu ijma’, qiyas dan istilah. Menurut Abu Zahrah, metode ijtihad sahabat inilah yang menjadi akar bagi perkembangan metode ijtihad masa sesudahnya.
Pada periode tabi’in, metode istinbat ini semakin jelas dan meluas seiring. Dengan meluasnya daerah Islam yang berimplikasi munculnya berbagai persoalan baru yang membutuhkan jawaban. Siatuasi ini mendorong kalangan tabi’in yang mendapat pendidikan dari generasi sahabat mengkhussukan diri untuk berfatwa dan melakukan ijtihad. Di antara mereka Said ibn al-Musayyad, (15-94 H)di Madinah, Al-Qamah ibn Qays (m. 62 H) dan Ibrahim Al-Nakha’i (w. 96 H) di Irak. Dalam melakukan fatwa mereka berpegang pada Al Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas dan Maslahah al-Mursalah. Pada masa ini, menurut Abu sulaiman, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah dalil hukum dan perbedaan pendapat tentang ijma ahli Madinah apakah dapat dipegang sebagai ijma’.
Metode ijtihad semakin jelas lagi pada periode Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H), pendiri mazhab Syafi’i. Tokoh ini tampil meramu, mensistemisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Upaya pembukuan ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung keislaman pada saat itu. Perkembangan ilmu pengetahuan ini mulai berlangsung pada masa Harun al-Rasyid (145-193 H) dan puncaknya pada masa al-Ma’mun (170-218 H). Dalam situasi inilah Imam Syafi’i tampil menyusun buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Munculnya kitab al-risalah merupakan fase awal perkembangan Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu. Kitab Imam Syafi’i ini kemudian menjadi rujukan utama bagi kalangan ahli ushul pada masa sesudahnya dalam menyusun karya-karya mereka.
0 komentar:
Posting Komentar