Selasa, 30 November 2010

Istihsan

Secara bahasa, istihsan berasal dari kata al-husna yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti mengganggap sesuatu baik. Dalam pengertian yang hampir sama, al-Sarakhi memaknai istihsan sebagai :
طلب الا حسن للا تباع الذ ي هو ما مو ر به
Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang diperhitungkan untuk dilaksanakan.
Sedangkan defenisi istihsan secara istilah dapat dikategorikan kepada 2 (dua) bentuk. Pertama, defenisi istihsan yang dikemukakan Abu Hasan al-Kharkhi sebagaimana dikutip Mustafa Ahmad Zarqa, berikut : 12
الاستحسان هو العدول بالما سأ لة عن حكم نظاعر ها إلى حكم اخر لو جه أ قو ى يقتضى هذا العد و ل
Perpindahan mujtahid dalam suatu masalah dari hukum yang serupa dengannya kepada hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat menghendaki perpindahan itu.

Kedua, defenisi istihsan yang dikemukakan Abdul karim Zaidan, yaitu 13
الاستحسان هو العدو ل عن مو جب فيا س قياس اقز ى منه أو هو تخصيص قياس بد ليل أ قو ى مته
Istihsan ialah perpindahan dari keharusan menggunakan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas dengan dalil yang lebih kuat.

Dari defenisi di atas, diketahui ada 2 (dua) bentuk istihsan, yaitu istihsan qiyasi sebagaimana yang terdapat dalam defenisi Ahmad Zarqa dan bagian awal dari defenisi yang dikemukakan Abdul Karim Zaidan. Kemudian istihsan istihna’i yang dapat ditemukan pada bagian akhir defenisi Abdul Karim Zaidan.
Ihtihsan qiyasa terjadi pada suatu kasus yang mungkin diterapkan padanya salah satu bentuk qiyas, yaitu qiyas jali atau qiyas khafi. Pada dasarnya, bila kejelasan ‘illat yang dijadikan standar, maka qiyas jali lebih tepat untuk didahulukan atas qiyas khafi. Namun, bila seorang mujtahid memandang dari qiyas jali, maka qiyas khafi boleh digunakan, meskipun dengan meninggalkan qiyas jali. Misalnya, berdasarkan qiyas jali, hak pengairan yang berada pada tanah pertanian yang diwakafkan tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali jika ditegaskan dalam ikrar wakaf. Ini diqiyaskan dengan jual beli yang sama-sama menghilangkan milik.
Bolehnya akad istisna’ didasarkan pada istihsan. Misalnya, seorang pembeli memesan barang kepada seseorang atau penjual barang dengan spesifikasi tertentu. Lalu pembuat barang atau penjualnya menyatakan kesanggupan untuk memenuhi pesanan yang diterima. Menurut kalangan hanafiah, melalui pernyataan kedua belah pihak seperti itu berimplikasi telah terjadi jual beli secara sah. Berdasarkan qiyas, jual beli istisna’ seperti itu tidak boleh dilakukan karena barang yang menjadi objek transaksi tidak ada pada saat transaksi berlangsung. Namun, melalui istihsan jual beli secara istisna’ dibolehkan karena memang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan. Bahkan, boleh menggunakan akad istisna’ ini didukung oleh Ijma’ ulama.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ilike this!

Posting Komentar