Esai ini akan mengakaji berbagai pola perubahan system hukum Indonesia sejakmasa revolusi, dengan tujuan menjelaskan mengapa dan bagaimana fungsi hukum di tanah jajahan itu di di tangani oleh lembaga-lembaga yang bercorak lain dengan penanganan fungsi hukum di Negara yang merdeka. esai ini juga akan mengkaji bagaimana lembaga-lembaga peradilan secara umum berkait dengan proses politik dan ekonomi, dan dengan nilai-nilai budaya. hasil akhirnya akan dipakai sebagai awal penentuan kedudukan lembaga-lembaga hukum dalam Negara dan mesayarakat sehih, pendekatan tersebut dapat menuntut ke arah geberalisasi yang bermanfaat tentang proses-proses hukum di mana pun, setidak-tidaknya di Negara-negara baru, dan beberapa usulan terhadap hasil tersebut akan dibuat dalam bentuk sebuah simpulan singkat.
Esai ini dikembangkan dari dan bertumpu pada dua konsep yang perlu di berikan defenisi sekadarnya. konsep pertama adalah “system hukum”, sedang yang lain “budaya hukum”.
Kandungan konsep system hukum, sebagaimana yang digunakan di sini adalah prosedur. hal-hal yang kita ingin memahaminya, pada pokoknya, adalah bagaimana orang mengani barbagai urusan dalam masarakat. Dan funsi-fungsi berbagai system hukum yang di manapun da bilamanapun selalu berbagai-fungsi denagn berbagai jenis lembaga lainnya, harus dianalisa. suatu system hukum terdiri dari berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-lembaga formal, bersama-sama dengan proses-proses informal di sekelilingnya. dalam Negara modern lembaga sentral system hukum adalah birokrasi, termasuk pula di dalamnya pengadilan yang akan menjadi pusat pembahasan kita. sumber kekauasaan suatu siste hukum yang pertama-tama adalah system politik yang kebahasannya (atau tidak kebahasannya) meluas ke aturan-aturan substantive yang diterapkan oleh sitem hukum, dan yang organisasi, tradisi, dan gayanya menentukan beberapa jauh proses hukum tertentu digunakan (atau dapat digunakan) untuk menyelenggarakan pengolah social dan untuk mencapai bernagai tujuan bersama.
Budaya hukum, sementara itu, boleh dibilang suatu konsep yang masih baru. Budaya Hukum ini mempunyai kelebihan mempu menarik perhatian orang terhadap niai-nilai yang berkait dengan hukum dan proses huku tetapi secara analisis dapat dibedakan dengan hukum maupun proses hukum, dan sering dinyatakan berdiri sendiri. Konsep budaya hukum yang digunakan dalam perbincangan ki ini terdiri dari dua unsure, yang berkait sengan nilai hukum keacaraan (procedural legal values) dan nilai-nilai hukum substantif.
Unsur budaya hukum yang substantive teridri dari anggapan dasar mengenai distribusi dan penggunaan sumbernya dalam masyarakat, benar da salah di segi social, dan sebagainya. karena anggapan-anggapan ini berubah-ubah dari waktu ke waktu, karena masyarakat itu sendiri pun beruba-ubah, konsep budaya hukum substantive memerlukan unsur yang dinamis. Keperluan tersebut dipenuhi dengan konsepsi tema ideology dalam gagasan-gagasan ekonomi, sosial, dan politik yang karena semua gagasan tersebut berubah sedikit banyak cukup cepat, maka ia tercermin dalam perilaku hukum substantif. Tema-tema tersebut ideologis ini di segi budaya, bisa jadi atau bisa juga tidak, bersifat khas.
Dalam esai ini, sesudah pendahuluan yang bersifat historis, bagian pertama perbincangan kita berkait dengan peranan dan perubahan peradilan dalam system hukum. Segi-segi budaya hukum disinggung di sepanjang tulisan ini, tetapi akan menonjol dalam perbincangan mengenai”proses” dan mengusai hampir seluruh bagian penutup esai ini tentang “subtansi”. Penyusunan esai kedalam ruas-ruas (sections) tentang lembaga, proses dan subtansi tidak begitu memuaskan, dan banyak diantara kepuasan mengenai subtansi sebenarnya termasuk kedalam proses. Sekalipun demikian, cara seperti ini dilakukan untuk menekan pentingnya hubungan anatara system hukum dan budaya hukum. akhirnya, esai ini lebih memusatkan kepada hukum nasional dari pada hukum lokal, dan persoalan yang dipilih sebagai bahan perbincangan dihubungkan dengan evolusi system polotik dan hukum nasional. Tidak ada maksud untuk mencakup segala aspek hukum Indonesia yang besar-besar, dan, sebagai seorang yang bukan ahli hukum, saya gunakan kebebasan saya untuk menurunkan masalah-masalah formal ke catatan kaki atau mengabaikannya.
1. Evolusi Tertib Hukum Nasional
System hukum nasional tidak terdapat di Indonesia sampai pada saat kekuasaan kolonial Belanda mendirikan Negara yang mencakup segenap pulau di Nusantara. Sebelum itu berbagai tertib hukum yang berlain-lainan masing-masing mandiri dalam system sosial dan politik yang sangat beragam.
Hukum tertulis secara historis lebih merupakan ciri jenis masyarakat yang belakangan dari pada masyarakat yang sebelumnya, dan boleh jadi juga lebih perlu, karena organisasi keluarga mengadakan control sosial yang kurang ketat. Akan tetapi bahkan kalaupun, seperti halnya di Jawa di masa silam, terdapat hukum tertulis dan para pejabat yang memaksakan ditaatinya hukum, boleh dikata sedikit saja jumlah masalah yang diajukan untuk ditangani oleh pemerintahformal. Sumberdaya administratif tidak cukup untuk melakukan pengawasan penuh terhadap penduduk. Sebagian besar masalah perselisihan karenanya diserahkan penyelesaiannya kepada desa atau keluarga, dan cara penyelesaiannya yang lazim barangkali adalah kompromi.
Di mana pun di Indonesia tradisional hukum tertulis tidak memainkan peranan penting bagi terciptanya keterpaduan social. Kohesi (keterpaduan) social, pertama-tama tergantung kepada organisasi kekerabatan atau kepada konsep-konsep status yang sangat maju yang sangat mendukung elite aristokrasi. Dalam kedua kasus tersebut kekuasan bersifat askritif, terbalur oleh makna pentingnya keluarga dan agama dan konsep-konsep hukum dikaitkan dengan tertib keluarga, kedaerahan, agama dan status, yang dapat berubah dalam kenyataan tetapi tidak dapat berubah dalam teori.
Islam memperkenalkan tradisi hukum baru ke Nusantara. Hukum Islam tidak pernah diterima dengan bulat di manapun di dunia, suatu kenyataan yang mengecewakan yang menimbulkan ketegangan dalam pemikiran politik Islam. Di Indonesia, selain dengan yang berkenaan dengan ibadah bagian hukum Islam yang diterima, khususnya hanya menyangkut aturan-aturan mengenai perkawinan dan (dalam derajat penerimaan yang lebih kecil) pewarisan; seringkali terhadapnya bahkan diadakan perubahan agar sesuai dengan nilai-nilai lokal.
Sekalipun demikian Islam tidak menghasilkan budaya hukum nasioanal di Indonesia lebih dari yang sudah dihasilkan atau yang dapat dihasilkan berupa sebuah Negara kesatuan. Islam gagal menggantikan sama sekali agama-agama yang ada yang bersikap bermusuhan terhadapnya, malahan sebaliknya sering kali bercampur aduk dengannya. Islam tidak juga dapat mengatasi perbedaan-perbedaan itu. Agama Islam pada awalnya membantu pembentukan apa yang oleh H. Geertz disebut superkultur metropolitan di sepanjang daerah pesisir yang aktif dalam perdangan, tetapi sebelum Belanda datang tidak terdapat kota-kota besar yang menegakkan kekuasaan politik dan ekonomi yang langgeng atas seluruh Nusantara. Itu sebabnya di Nusantara tidak ada kekuasaan pemerintahan pusat yang mampu mengembangkan garis pengendalian ekonomi dan administrative melalui mana bisa muncul birokrasi yang kuat di seluruh negeri.
Sifat tertib hukum kolonial yang di warisi oleh Indonesia hanya uraian yang sangat singkat yang mungkin bisa disajikan; tetapi uraian itu perlu. Pertamanya, tetib hukum colonial, seperti halnya tertib sosial, adalah tertib yang majemuk, yang secara diam-diam didasarkan atas anggapan ketidaksamaan rasial. Sifat demikian, dengan sejumlah perbedaan-perbedaannya, melekat di semua tanah jajahan di zaman penjajahan. sifat system hukum Hindia Belanda yang mencolok adalah keterkaitanya yang sangat kuat dengan logika internal masyarakat kolonial dan tujuan-tujuannya. Tiap golongan besar penduduk tunduk kepada hukum yang berbeda-beda, yang diterapkan dengan dua perangkat peradilan yang berlainan-sebenarnya tiga, termasuk dengan pengadilan Agama Islam (yang mengadili perkara-kara yang berkenaan dengan hukum keluarga bagi orang-orang Islam) yang meskipun bukan merupakan badan pemerintah colonial tetapi diatur olehnya.
Tolak ukur rasial hukum colonial juga digambarkan oleh fungsi khusus golongan-golongan tertentu. Posisi ekonomi merupakan penentu kesamaan hukum yang tidak dapat ditawar-tawar. Karena efesiensi dagang di manapun menuntut berlakunya norma yang sama, maka mau tak mau kekuasaan dagang Belanda bersedia menerapkan hukumnya bagi golongan yang di segi ekonomi mempunyai arti penting seperti orang-orang Cina.
Selain itu, orang-orang Indonesia yang menjalankan jenis tertentu usaha perkotaan atau melakukan transaksi-transaksi khusus secara diam-diam dianggap penundukan diri kepada aturan hukum Belanda yang berkenaan dengan perbuatan hukum tersebut-misalnya, pengikatan kontrak, penerbitan promes, cek, dan sebagainya. Hal yang demikian dianut demi kemudahan. Selain untuk orang-orang Indonesia di anggap-dan anggapan ini menopang mempermantap kenyataan hidup dalam kehidupan hukum yang otonom yang sedikit saja beruruan dengan perdagangan “modern”. Mereka dalam teori diatur dalam hukum adat, yang diterapkan oleh pengadilan tradisional maupun oleh pengadilan pemerintah (landraden) bagi orang-orang Indonesia. Hubungan antara berbagai golongan hukum diatur oleh himpunan aturan perselisihan (antar-golongan) yang sangat pelik.
Apa pun kesulitan yang timbul dari keaneragaman hukum, kesulitan tersebut masih kalah besar bila dibanding dengan betapa susahnya upaya untuk memperlemah motos tentang ketidak mampuan orang Indonesia di bidang politik dan ekonomi. menginjak abad keduapuluh, tatkala berlangsung debat hangat tentang peraturan hokum bagi semua golongan – suatu perdebatan yang berakhir dengan kekalahan pihak yang memperjuarngkan penyatuan di masa kolonial, tetapi berbalik menjadi kemenangan sesudah kemeedekaan - kekhawatiran bahwa orang-orang Indonesia bisa jadi akan menyaingi orang Belanda dan orang Cina di bidang ekonomi boleh dikata tidak berarti. Akan tetapi terlalu banyak pendirian dasar kekuasaan kolonial yang bersandar pada pemisahan fungsi berbagai kelompok penduduk sehingga enggan untuk membuka pelueng sekalipun hanya untuk penyatuan simbol. VanVollenhoven dan Ter Haar, pakar-pakar hukum adat yang berhasil menentang penyatuan, sangat tulus alasan-alasan mereka karena mereka berdua bersimpati terhadap budaya Indonesia dan tidak diragukan khawatir akan akibat-akibat ketidak adilan yang mungkin terjadi karena pemberlakukan secara mendadak aturan hokum tunggal yang sebagian besar diambil dari model Eropa.
Untuk sebagian brsar dari abad kesembilan belas orang belanda yakin bahwa hokum adat Indonesia banyak didasarkan pada hokum islam. Dan wewenang pengadilan agama Islam juga dianggap meliputi masalah-masalah hukum keluarga yang sangat bermacam ragam. Keyakinan demikian membarikan keuntungan bagi Islam di daerah-daerah sseperti Jawa Timur dan Jawa tengah yang tentangannya terhadap agama cukup kuat menahmbat pemekarannya. Belanda terhela ke dalam Pertentangan agama yang historis antara kekuatan-kekuatan Islam dan pra Islam di Jawa, Sumatera, dan di tempat-tempat lain itu. Sejalan dengan prasangka Eropa terhadap lslam, semakin canggih masyarakat Indonesia secara bertahap memungkinkan Belanda meninjau kembali pandangan mereka sebelumnya mengenai pengaruh agama lslam. Tatkala para sarjana hukurn adat Universitas Leiden muncul pada abad kedua puluh, faktor tambahan kecenderungan-kecenderuangan yang merupakan pcmbawaan khas para etnolog (dan juga aliran ilmu hukum historis Eropa Daratan) menempatkan "adat" di pihak yang unggul bertentangan dengan tuntutan pihak Islam. Selanjutnva Islarn tidak lagi dipandang secara a piori scbagai sumber pokok hukum Indoncsia, tetapi harus membuktikan penerimaan bagian-bagian dari norma hukumnya ke dalam hukum adat. Peristiwa ini merupakan titik balik yang penting dalam kebijaksanaan kolonial, suatu peristiwa yang menandai kemenangan para sarjana hokum adat atas pandangan yang lebih kompleks dari para alhli Islam yang kenamaan seperti C. Snor'rck Hurgronje, yang memperjuangkan kan pemberian tempat bagi Islam dan modernisasi politik dan sosial (dan hukum ) yang bersifat umum.
Walau pembicaaan lebih lanjut mengenai hukum adat itu sendiri tidapa disajikan di sini. Dua butir umum kebijaksanaan hukum adat colonial perlu perhatian.
Pertama, disini, lebih daripada di tanah jajahan Eropa yang mana punBelanda menanamkan penghargaan terhadap hukum adat ke dalam tertib hukum melalui struktur, pendidikan dan ideologi hukum. Akan tetapi, penghargaan tersebut boleh jadi bersifat belanda daripada Indonesia. Pandangan para pemimpin Indonesia dulu (maupun sekarang) terasa sangat ambivalen. Karena walaupun adat secara khas mencerminkan keindonesiaan dan secara sombolis cukup menarik, kitab undang-undang hukum eropa diberi cita rasa seakan-akan mengandung derajat sosial yang lebih tinggi, dan mempunyai keunggulan politik dan kemoderenan, sementara hukum adat mendapat cap keterbelakangan.
Kedua, walaupun Belanda memberi tempat yang penting bagi hukum adat, masa depan hukum adat tidak bisa tidak terancam oleh munculnya politik dan administrasi tingkat nasional' Di Hindia Belanda, sebagaimana juga di tanah jajahan lainnya, berbagai kelompok etnis di mata pemerintah tidak lebih dari pada satuan-satuan penduduk yang kepekaannya harus dihormati sekadar untuk mempertahankan keamanan. Hubungan antara elite kolonial dan rakyat yang dibawahkannya jelas tidak mencerminkan masyarakat politik yang tcrpadu, dan karenanya lebih tepat di sebut sebagai hubungan administratif.
Sebagai akibatnya, hukum di Indonesia di masa penjajahan tampak samar-samar mirip dengan hukum di Perancis di zaman pertengahan, dengan catatan perbedaau-perbedaan adat di antara berbagai provinsi di Indonesia tumbuh dari ragam struktur sosial, agama, dan budaya yang jauh lebih besar. Akan tetapi sesudah kemerdekaan, walaupun prosesnya sudah bermula dengan perluasan kekusaan Belanda di Indonesia, juga dilakukan usaha-usaha yang lebih giat untuk mcngembangkan Pays du Droit Ecrit dengan mengesampingkan Pays du Droit Countumer. Tatkala kaum elite Indonesia memegang kekuasaan nasional, suatu upaya yang tak putus-putusnya dan penuh dengan susah payah mulai dilakukan untuk mengubah negara administratif kolonial menjadi masyarakat politik nasional, dan hukurn adat lokal yang pertama-tama merasakan dampaknya.
2. Lembaga-lembaga
Kemerdekaan : Meraihnya politik dan Melemahnya Hukum
Sistem hukum kolonial mulai berantakan semasa pendudukan Jepang. Terjadilah perubahan semangat hukum tatkala hukum diterapkan oleh pemerintahan militer, dan langkah pertama yang sangat berarti ke arah penyatuan terjadi pada saat itu, antara tahun 1942 dan 1946. Strukur rangkap peradilan pemerintah digantikan oleh pengadilan tunggal yang terdiri dari tiga jenjang dan menggunakan kitab hukum acara yang semula hanya untuk orang Indonesia yang sampai sekarang masih tetap berlaku. Para pejabat Indonesia kini mengisi birokrasi, pengadilan, kejaksaan dan jabatan-jabatan lainnya. Yang terpenting sudah barang tentu adalah bahwa Belanda hancur, suatu kondisi yang jadi permanen dengan terjadinya.
Suatu simbol tandingan - hukum revolusi – muncul di masa demokrasi Terpimpin, tatkala Presiden Sukarno dengan tandas menentang simbol-simbol lain yang oleh para ahli hukum diyakini sebagai sesuatu yang harus ada. Melemahnya hukum formal terjadi menyusul meluasnya kegiatan politik yang meledak-ledak. Muncullah sistem partai yang berdasarkan ideologi memadukan sekaligus pertentangan-pertentangan yang berakar dalam sejarah bertumpuh pada islam dan yang lebih aakhir pada perjuangan kelas. Hampir setiap orang secara otomatis di gilongkan ke-salah satu aliran politik. Sedikit sekali ruang yang tersedia untuk membuat kesepakatan bersama, walaupun mengubah pemerintah itu sendiri menjadi senjata dalam persoalan politik yang besar-besar. Sebagai akibatnya biroksari - baik adminitrasi pusat maupun pamong praja, yakni tangan asministratif pemerintah pusat di daerah mulai hancur karena patokan mengenai perbuata yang patut di hargai rmenjadi kacau.
Cara bertindak yang efisien dan tidak menurut perasaan pribadi yang ditekankan secara terus-menerus oleh pemerintah kolonial kini bersaing dengan simbol kesetiaan politik dan ideologi. Selain itu tata laksana pemerintahan tidak hanya menjadi ajang pertentangan ideologi melainkan juga menjadi medan peretrutan status di negara baru itu. Bagi kaum birokrat, Revolusi menjanjikan perbaikan posisi sosial dan ekonomi. Karenanyapegawai negeri, seperti halnya anggota masyarakat yang lain, diorganisasi oleh kementerian untuk mendesakan tuntutan-tuntutan perbaikan nasib atau untuk rnempertahankan diri terhadap tuntutan-tuntutan dari para peraing yang mungkin timbul.
Di antara perselisihan-perselisih yang lain, hakim, jaksa, dan polisi mulai bertengkar sebelum Revolusi berakhir. Alasan pembenar apa pun tentang status quo yang dikemukakan selalu berakar pada masa kolonial yang silam atau, pada perkembangan ekonorni sehingga terlalu abstrak untuk mengena pada persoalannya.
3. Badan Advokasi Dan Sistem Peradilan
Para advokat hampir tidak memainkan peranan dalam pertentangan mengenai sistem peradilan. Melemahnya kekuatan mereka sesudah kemerdekaan semakin mencepat daripada melemahnya kekuatan para hakim dan ini menyebabkan tempat mereka dalam sistem peradilan jadi sangat sulit. Kupasan mengenai sebab-sebab terjadinya hal secperti itu membantu memberi gambaran tentang sifat struktur dan proses peradilan di Indonesia.
Beberapa sebab di balik kelemahan profesi advokat sudah disebutkan di depan. kecilnya jumlah advokat banyak di antaranya meninggalkan praktek swasta untuk menempati Posisi dalam permerintahan sesudah tahun 1945 atau tahun 1950; diperpolitikkannya perekonomian, dan sebagi akibanya diperlukannya keterampilan non hukum, serta kecendrungan umum untuk menyimpang dari proses formal untuk berali ke preoses informal. Di Indonesia dimasa kolonial, seperti halnya di eropa dan di berbagai masyarakat lainya yang aktif di bidang perniagaan. Advokat menjadi mata ranti penhubung yang penting antara kegiatan masyarakt swasta dengan sistim peradilan sementara dengan datangnya kemerdekaan peranan penhubung ini makin dinggap kurang penting.
4. Proses dan Semangat Hukum
Di semua masyarakat yang kompleks terdapat jarak pemisah antara struktur formal dan prosedur kelembagaan. Di Indonesia, seperti halnya di berbagai negara bekasjajahan, ketiadaan keterpaduan seperti itu sangat mencolok. Akibatnya, munculah hukum kelembagaan Gresham, yakni proses formal cenderung dihindarkan dalam rangka menyelesaikan perselisihan melalui proses yang lebih bersifat kekeluargaan dan lebih akomodatif.
5. Penyelesaian Perselisian secara kekeluargaan (Konsilisasi)
Kompromi di mana-mana merupakan cara utama penyelesaian perselisihan. Akan tetapi, di beberapa masyarakat, kompromi lebih menonjol dari pada di beberapa masyarakat lainnya. atau dengan cara pengungkapan yang lain, beberapa masyarak lebih banyak tergantung kepada penyelesaian perselisihan formal daripada mas-yarakat lainnya. Sejumlah variabel sosial sudah jelas. Satuan masyarakat yang kecil-kecil yang di dalamnya hubungan tatap muka lebih menonjol cenderung menekankan pada penyelesaian perselisihan secara kekeluargaan (konsiliasi) dan kompromi (penyelesaian perselisihan melalui jalan tengah). Sebaliknya, hubungan yang tidak akrab menjadikan keputusan pihak ketiga dengan status resmi adalah lebih tepat.
Apabila kepentingan bersama pihak-pihak yang berselisih (dan teman serta tetangga-tetangganya) dapat ditegakkan, kompromi lebih disukai. Salah satu keuntungan penyelesaian perselisihan oleh pihak-pihak yang berselisih itu sendiri ialah bahwa perhatian pihak ketiga penyelesai perkara yang tidak berpihak (impersonal) dapat diabaikan. Itulah sebabnya mengapa perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, dan barang tentu juga di tempat-tempat lain, cenderunlg-menyelesaikan perselisihan merekalebih sering melalui persetujuan di antara pihak-pihak itu sendiri dari pada melalui pengadilan berperkara secara formal memasukkan pertimbangan-pertimbangan kepentingan umum, tuntutan kelembagaan sistem hukum, kepentingan-sistem peradilan sendiri yang tampaknya tidak ada hubungannya dengan kepentingan langsung para pengusaha.
Sekalipun demikian di Amerika serikat urbinisasi, sekularisasi, perekonomian yang berbadan hukum, dan tingkat integrasi sosial dan politik yang cukup tinggi yang terakhir itu baru-baru ini menghadapi tantangan perkembangan sosial yang mempengaruhi keabsahan proses-proses formal – kesemuanya menyebabkan keputusan pihak ketiga lazim dan absah, dan sudah barang tentu tanpa menghapus penyelesaian perselisihan oleh pihak-pihak yang bersangkutan sendiri sebagai sarana penyelesaian. Baik pengadilan maupun badan-badan administrasi dengan fungsi peradilan, dengan demikian, mendapat dukungan cukup.
0 komentar:
Posting Komentar